BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi
masalah yang banyak dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh
dunia. Bahkan WHO telah menetapkan dekade ini (2000-2010) menjadi Dekade Tulang dan Persendian. Penyebab fraktur
terbanyak adalah karena kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas ini selain menyebabkan fraktur, menurut
WHO juga menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap tahunnya, dimana sebagian
besar korbannya adalah remaja atau dewasa muda.
Fraktur adalah salah satu gangguan musculoskeletal yang umum
yang disebabkan oleh trauma. Dengan semakin pesatnya kemajuan lalu lintas di
Indonesia maka mayoritas fraktur adalah akibat kecelakaan lalu-lintas.
Kecelakaan lalu-lintas dengan kecepatan tinggi sering menyebabkan trauma. dan
kita harus waspada terhadap kemungkinan polytrauma yang dapat mengakibatkan
trauma organ-organ lain. Trauma-trauma lain adalah jatuh dari ketinggian,
kecelakaan kerja, kecelakaan domestik, dan kecelakaan/cidera olahraga.
Menurut Smeltzer (2001 : 2357) fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Prinsip mengenai fraktur meliputi reduksi yaitu
memperbaiki posisi fragmen yang terdiri dari reduksi tertutup (tanpa operasi)
dan reduksi terbuka ( dengan operasi), mempertahankan reduksi / imobilisasi
yaitu tindakan untuk mencegah pergeseran dengan traksi terus nmenerus,
pembebatan dengan gips, pemakaian penahan fungsional, fiksasi internal dan
fiksasi eksternal, memulihkan fungsi yang tujuannya adalah mengurang oedem,
mempertahankan gerakan sendi, memulihkan kekuatan otot dan memandu pasien
kembali ke aktifitas normal. (Apley & Solamon 1995)
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik membuat
makalah tentang fraktur secara umum dan khususnya fraktur 1/3 distal dextra
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan mahasiswa dalam mempelajari fraktur dan dapat diterapkan dalam
kehidupan sesuai teori yang ada.
2. Tujuan Khusus
a. Diharapkan
mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari fraktur secara umum
b. Diharapkan
mahasiswa dapat mengetahui klasifikasi fraktur
c. Diharapkan
mahasiswa dapat mengetahui etiologi/penyebab terjadinya fraktur
d. Diharapkan
mahasiswa dapat mengerti tentang manifestasi fraktur
e. Diharapkan
mahasiswa dapat mengetahui komplikasi dari fraktur
f. Diharapkan
mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan dari faktur.
g. Agar dapat mamberikan
askep pada fraktur tibia fibula cruris 1/3 distal dextra mulai dari pengkajian
sampai evaluasi dengan baik dan benar
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Fraktur Cruris
Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan luka
sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh
darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
terjadinya jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari
yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2001).
Cruris berasal dari bahasa latin crus atau
cruca yang berarti tungkai bawah yang terdiri dari tulang tibia dan
fibula (Ahmad Ramali, 1987). 1/3 distal dextra adalah tulang dibagi
menjadi tiga bagian kemudian bagian paling bawah yang diambil.
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang
dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula.
Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorbsinya. (Brunner & Suddart, 2000).
B. Klasifikasi Fraktur
1. Fraktur berdasarkan derajat atau
luas garis fraktur terbagi menjadi :
a. Fraktur complete, dimana
tulang patah terbagi menjadi dua bagian (fragmen) atau lebih,
b. Fraktur incomplete (parsial).
Fraktur parsial terbagi lagi menjadi :
1) Fissure/Crack/Hairline, tulang terputus seluruhnya tetapi masih
di tempat, biasa terjadi di tulang pipih.
2) Greenstick Fracture, biasa terjadi pada anak-anak dan
pada os. radius, ulna, clavikula dan costae.
3) Buckle Fracture, fraktur dimana korteksnya melipat
ke dalam.
2. Berdasarkan garis patah atau konfigurasi
tulang:
a. Transversal, garis patah tulang
melintang sumbu tulang (80-1000 dari sumbu tulang)
b. Oblik, garis patah tulang melintang
sumbu tulang (<800 atau >1000 dari sumbu tulang)
c. Longitudinal, garis patah mengikuti
sumbu tulang
d. Spiral, garis patah tulang berada di
dua bidang atau lebih
e. Comminuted, terdapat dua atau lebih
garis fraktur.
3. Berdasarkan hubungan antar fragman
fraktur :
a. Undisplace, fragment tulang fraktur
masih terdapat pada tempat anatomisnya
b. Displace, fragmen tulang fraktur
tidak pada tempat anatomisnya, terbagi atas :
1) Shifted Sideways, menggeser ke
samping tapi dekat
2) Angulated, membentuk sudut tertentu
3) Rotated, memutar
4) Distracted, saling menjauh karena
ada interposisi
5) Overriding, garis fraktur tumpang
tindih
6) Impacted, satu fragmen masuk ke
fragmen yang lain.
4. Secara umum berdasarkan ada tidaknya
hubungan antara tulang yang fraktur dengan dunia luar, fraktur juga dapat
dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Fraktur tertutup, apabila kulit
diatas tulang yang fraktur masih utuh
b. Fraktur terbuka, apabila kulit
diatasnya tertembus dan terdapat luka yang menghubungkan tulang yang fraktur
dengan dunia luar yang memungkinkan kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka
sampai ke tulang sehingga cenderung untuk mengalami kontaminasi dan infeksi.
fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat, yaitu :
1) Derajat
I
a) luka
kurang dari 1 cm
b) kerusakan
jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
c) fraktur
sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
d) Kontaminasi
ringan.
2) Derajat
II
a) Laserasi
lebih dari 1 cm
b) Kerusakan
jaringan lunak, tidak luas, avulse
c) Fraktur
komuniti sedang.
3) Derajat
III
Terjadi
kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
C. Etiologi Fraktur
Penyebab
fraktur diantaranya:
1. Trauma
Jika kekuatan
langsung mengenai tulang maka dapat terjadi patah pada tempat yang terkena, hal
ini juga mengakibatkan kerusakan pada jaringan lunak disekitarnya. jika
kekuatan tidak langsung mengenai tulang maka dapat terjadi fraktur pada tempat
yang jauh dari tempat yang terkena dan kerusakan jaringan lunak ditempat
fraktur mungkin tidak ada. Fraktur karena trauma dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Trauma langsung. Benturan pada
tulang mengakibatkan ditempat tersebut.
b. Trauma tidak langsung. Titik tumpu
benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.
2. Fraktur Patologis
Adalah suatu
fraktur yang secara primer terjadi karena adanya proses pelemahan tulang akibat
suatu proses penyakit atau kanker yang bermetastase atau osteoporosis.
3. Fraktur akibat
kecelakaan atau tekanan
Tulang juga
bisa mengalami otot-otot yang berada disekitar tulang tersebut tidak mampu
mengabsorpsi energi atau kekuatan yang menimpanya.
4. Spontan . Terjadi tarikan otot yang
sangat kuat seperti olah raga.
5. Fraktur tibia dan fibula yang
terjadi akibat pukulan langsung, jatuh dengan kaki dalam posisi fleksi atau
gerakan memuntir yang keras.
6. Fraktur tibia dan fibula secara umum
akibat dari pemutaran pergelangan kaki yang kuat dan sering dikait dengan
gangguan kesejajaran.
(Apley, G.A. 1995 : 840)
D. Manifestasi Klinis Fraktur
1. Deformitas
2. Daya tarik
kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang brrpindah dari tempatnya perubahan
keseimbangan dan contur terjadi seperti :
a. Rotasi
pemendekan tulang
b. Penekanan
tulang
3. Bengkak : edema
muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan yang
berdekatan dengan fraktur.
4. Echumosis dan
perdarahan subculaneus
5. Spasme otot
spasme involunters dekat fraktur.
6. Tendernes/keempuka
7. Nyeri mungkin
disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan
struktur di daerah yang berdekatan.
8. Kehilangan
sensasi (Mati rasa, munkin terjadi dari rusaknya saraf / perdarahan)
9. Pergerakan
abnormal
10. Syock
hipovolemik dari hilangnya hasil darah
11. Krepitasi
E. Patofisiologi Fraktur
Ketika tulang
patah, periosteum dan pembuluh darah di bagian korteks, sumsum tulang dan
jaringan lunak didekatnya (otot) cidera pembuluh darah ini merupakan keadaan
derajat yang memerlukan pembedahan segera sebab dapat menimbulkan syok
hipovolemik. Pendarahan yang terakumulasi menimbulkan pembengkakan jaringan
sekitar daerah cidera yang apabila di tekan atau di gerakan dapat timbul rasa
nyeri yang hebat yang mengakibatkn syok neurogenik. (Mansjoer Arief, 2002)
Sedangkan
kerusakan pada system persyarafan akan menimbulkan kehilangan sensasi yang
dapat berakibat paralysis yang menetap pada fraktur juga terjadi keterbatasan
gerak oleh karena fungsi pada daerah cidera. Sewaktu tulang patah pendarahan
biasanya terjadi di sekitar tempat patah, kedalam jaringan lemak tulang
tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan.Reaksi perdarahan
biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel darah putih
dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat
tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa – sisa sel mati di mulai. Di tempat
patah terdapat fibrin hematoma fraktur dan berfungsi sebagai jala-jala untuk
membentukan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang
baru umatur yg disebut callus.Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tuulang
baru mengalmi remodelling untuk membentuk tulang sejati. (Mansjoer Arief, 2002)
F. Pemeriksaan
Penunjang
1. Foto Rontgen
a. Untuk mengetahui
lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
b. Mengetahui tempat atau tipe fraktur.
Biasanya diambil sebelum dan sesudah serta selama proses penyembuhan secara
periodik.
1. Artelogram bila ada kerusakan vaskuler
2. Hitung darah lengkap HT mungkin
terjadi (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur
atau organ jauh pada organ multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah kompensasi
normal setelah fraktur.
3. Profil koagulasi perubahan dapat
terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau trauma hati.
4. Sebagai
penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar
rontgen (x-ray). Hal yang harus dibaca pada x-ray:
a. Bayangan
jaringan lunak.
b. Tipis
tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga
rotasi.
c. Trobukulasi
ada tidaknya rare fraction.
d. Sela
sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
5. Selain
foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
a. Tomografi:
menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang
sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
b. Myelografi:
menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang
vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
c. Arthrografi:
menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
d. Computed
Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana
didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
6. Pemeriksaan
Laboratorium
a. Kalsium
Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
b. Alkalin
Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik
dalam membentuk tulang.
c. Enzim
otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
d. Pemeriksaan
lain-lain
e. Pemeriksaan
mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab
infeksi.
f. Biopsi
tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas
tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
g. Elektromyografi:
terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
h. Arthroscopy:
didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
i. Indium
Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
j. MRI:
menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius,
Donna D, 1995)
A. Penatalaksanaan Fraktur
Prinsip penanganan fraktur meliputi
rekognisi, traksi, reduksi imobilisasi
dan pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
1. Rekognasi
Pergerakan relatif sesudah cidera dapat mengganggu suplai neurovascular ekstremitas yang terlibat.
Karena itu begitu diketahui kemungkinan fraktur tulang panjang, maka
ekstremitas yang cedera harus dipasang bidai untuk melindunginya dari kerusakan
yang lebih parah.
Kerusakan jaringan lunak yang nyata dapat juga dipakai
sebagai petunjuk kemungkinan adanya fraktur, dan dibutuhkan pemasangan bidai
segera dan pemeriksaan lebih lanjut. Hal ini khususnya harus dilakukan pada
cidera tulang belakang bagian servikal, di mana contusio dan laserasio
pada wajah dan kulit kepala menunjukkan perlunya evaluasi radiografik, yang dapat memperlihatkan fraktur tulang belakang
bagian servikal dan/atau dislokasi, serta kemungkinan diperlukannya pembedahan
untuk menstabilkannya.
(Smeltzer C dan B. G Bare, 2001)
2.
Traksi
Alat traksi diberikan dengan
kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur untuk meluruskan bentuk tulang. Ada
2 macam yaitu:
a.
Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian
tulang yang fraktur dengan menempelkan plester langsung pada kulit untuk
mempertahankan bentuk, membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang cedera,
dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).
b.
Skeletal
traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk
meluruskan tulang yang cedera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk
dengan memasukkan pins / kawat ke dalam tulang.
3. Reduksi
Dalam penatalaksanaan fraktur dengan reduksi dapat dibagi
menjadi 2 yaitu:
a. Reduksi Tertutup/ORIF (Open
Reduction Internal Fixation)
Reduksi fraktur (setting
tulang) berarti mengembalikan fragment tulang
pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi, dapat
dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung
sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap sama.
Sebelum reduksi dan imobilisasi
fraktur, pasien harus disiapkan untuk menjalani prosedur dan harus diperoleh izin
untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin
perlu dilakukan anesthesia.
Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut. Reduksi tertutup pada banyak kasus, reduksi tertutup
dilakukan dengan mengembalikan fragment
tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan
traksi manual.
b. Reduksi
Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)
Pada Fraktur tertentu dapat
dilakukan dengan reduksi eksternal atau yang biasa dikenal dengan OREF,
biasanya dilakukan pada fraktur yang terjadi pada tulang panjang dan fraktur
fragmented. Eksternal
dengan fiksasi, pin dimasukkan melalui kulit ke dalam tulang dan dihubungkan
dengan fiksasi yang ada dibagian luar. Indikasi yang biasa dilakukan
penatalaksanaan dengan eksternal fiksasi adalah fraktur terbuka pada tulang
kering yang memerlukan perawatan untuk dressings. Tetapi dapat juga
dilakukan pada fraktur tertutup radius ulna. Eksternal fiksasi yang paling sering
berhasil adalah pada tulang dangkal tulang misalnya tibial batang.
4. Imobilisasi Fraktur
Setelah fraktur di reduksi, fragment tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam
posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksternal
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau
fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang
berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
B. Perawatan Perioperatif Di Kamar Bedah
1.
Perawatan Pre Operasi:
a. Persiapan Pre
Operasi:
1) Pasien sebaiknya
tiba di ruang operasi dengan daerah yang akan di operasi sudah dibersihkan (di
cukur dan personal hygiene)
2) Kateterisasi
3) Persiapan saluran
pencernaan dengan puasa mulai tengah malam sebelum operasi esok paginya (pada
spinal anestesi dianjurkan untuk makan terlebih dahulu)
4) Informed Consent
5) Pendidikan
Kesehatan (Penkes) mengenai tindakan yang dilakukan di meja operasi, seperti
anestesi yang digunakan, tindakan yang dilakukan dan lamanya operasi
b. Perawatan Pre
Operasi:
1) Menerima Pasien:
2) Memeriksa kembali
persiapan pasien:
a) Identitas pasien
b) Surat persetujuan
operasi
c) Pemeriksaan
laboratorium darah, rontgen, EKG.
3) Mengganti baju
pasien
4) Menilai KU dan TTV
a) Memberikan Pre
Medikasi: Mengecek nama pasien sebelum memberikan obat dan memberikan obat pre
medikasi.
b) Mendorong pasien
kekamar tindakan sesuai jenis kasus pembedahan
c) Memindahkan pasien
ke meja operasi
C. Proses Penyambungan Tulang
1. Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di sekitar dan
di dalam fraktur (Apley, 1995). Hal ini mengakibatkan gangguan suplay darah
pada tulang yang berdekatan dengan fraktur dan mematikannya (Maurice King,
2001).
2. Proliferasi
Dalam 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut
disertai proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam saluran medulla yang
tertembus. Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru
yang halus berkembang ke dalam daerah itu (Apley, 1995).
3. Pembentukan callus
Selama beberapa minggu berikutnya, periosteum dan endosteum
menghasilkan callus yang penuh dengan sel kumparan yang aktif. Dengan
pergerakan yang lembut dapat merangsang pembentukan callus pada fraktur
tersebut (Maurice King, 2001).
4. Konsolidasi
Selama stadium ini tulang mengalami penyembuhan
terus-menerus. Fragmen yang patah tetap dipertahankan oleh callus sedangkan
tulang mati pada ujung dari masing-masing fragmen dihilangkan secara perlahan,
dan ujungnya mendapat lebih banyak callus yang akhirnya menjadi tulang padat
(Maurice King, 2001). Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa
bulan sebelum tulang cukup kuat untuk membawa beban yang normal (Apley, 1995).
5. Remodeling
Tulang yang baru terbentuk, dibentuk kembali sehingga mirip
dengan struktur normal (Appley, 1995). Semakin sering pasien menggunakan
anggota geraknya, semakin kuat tulang baru tersebut (Maurice King, 2001).
Faktor yang Mempercepat Penyembuhan
Fraktur:
a. Imobilisasi fragment tulang
b. Kontak fragment tulang maksimal
c. Asupan darah yang memadai
d. Nutrisi yang baik
e. Latihan pembebanan berat badan untuk
tulang panjang
f. Hormon-hormon pertumbuhan, tiroid,
kalsitonin, vitamin D, steroid anabolik.
Faktor
yang Menghambat Penyembuhan Tulang:
a. Trauma lokal ekstensif
b. Kehilangan tulang
c. Imobilisasi tak memadai
d. Rongga atau jaringan di antara
fragmen tulang
e. Infeksi
f. Keganasan lokal
g. Penyakit tulang metabolik (mis.
penyakit Paget)
h. Radiasi tulang (nekrosis
radiasi)Nekrosis avaskuler
i. Usia (lansia sembuh lebih lama). (Smeltzer
dan Bare, 2001 : 2386)
D. Komplikasi
1. Dini
c.
Compartement syndrome
Merupakan
komlikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan
pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh odem atau perdarahan
yang menekan otot, saraf dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari
luar seperti gips, dan embebatan yang terlalu kuat
1) Tekanan intracompartement dapat diukir langsung dengan cara whitesides.
2) Penanganan: dalam waktu kurang 12
jam harus dilakukan fascioterapi.
d.
Infeksi
System
pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic
infeksi di mulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya
terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi juga bisa karena penggunaan bahan lain
dalam pembedahan seperti pin dan plat
e.
Avaskuler
nekrosis
Avaskuler
Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ketulang rusak atau terganggu yang
bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia
f.
Shock
Shock
terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler
yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
(Padila,
2012 : 306)
2. Lanjut
a. Malunion: biasanya terjadi pada fraktur yang
komminutiva sedang immobilisasinya longgar, sehingga terjadi angulasi dan rotasi.
Untuk memperbaiki perlu dilakukan osteotomi.
b. Delayed
union: terutama
terjadi pada fraktur terbuka yang diikuti dengan infeksi atau pada frakter yang
communitiva. Hal ini dapat diatasi
dengan operasi bonegraft alih tulang spongiosa.
c. Non
union:
Disebabkan karena terjadi kehilangan segmen tulang tibia disertai dengan
infeksi. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan bone grafting menurut cara papineau.
d. Kekakuan sendi: Hal ini disebabkan
karena pemakaian gips yang terlalu lama. Pada persendian kaki dan jari-jari
biasanya terjadi hambatan gerak, hal ini dapat diatasi dengan fisiotherapi .
(Padila,
2012 : 306)
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.H DENGAN FRAKTUR CRURIS 1/3
DISTAL DEXTRA
Tinjauan Kasus
Sdr.
H umur 25 tahun datang dengan riwayat kecelakaan lalu lintas dengan trauma pada
kaki bawah kanan , mengeluh kaki kanan sakit sekali dan tidak bisa digerakan
dalam pemeriksaan ada tanda fungsio laesa, deformitas, bengkak dan jejas
trauma, dari pemeriksaan radiology diperoleh ada fraktur cruris 1/3 distal, di
UGD terpasang fiksasi spalk dan konsul dr. SpBO.
A. Pengkajian
1.
Pengumpulan
Data
a. Anamnesa
1) Identitas klien
2) Keluhan utama
Pada
umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa
akut atau kronis tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh data tentang
nyeri digunakan P, Q, R, S, T.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
4) Riwayat Penyakit Dahulu
5) Riwayat Penyakit Keluarga
6) Riwayat Psikososial
7) Pola-pola Fungsi Kesehatan menurut Gordon
8) Pemeriksaan Fisik
9) Pemeriksaan diagnostik
b. Data Fokus
Pemeriksaan
pada system musculoskeletal adalah
1) Look (inspeksi)
a) Cictriks (jaringan parut baik yang
alami maupun buatan)
b) Cape au lait spot
c) Fistulae
d) Warna kemerahan atau kebiruan
(livide) atau hiperpigmentasi
e) Benjolan, pembengkakan, atau
cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal)
f) Posisi dan bentuk dari ekstremitas
(deformitas)
g) Posisi jalan (gait, waktu masuk
kekamar operasi)
2) Feel (palpasi)
Pada
waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari
posisi netral (posisi anatomi). Yang perlu dicatat adalah:
a) Perubahan suhu disekitar trauma
(hangat) dan kelembapan kulit
b) Apabila ada pembengkakan, apakah
terdapat fluktuasi atau oedem terutama disekitar persendian
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi,
catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, distal)
Otot:
tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang terdapat dipermukaan
atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler.
Apabila ada benjolan maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaanya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak
dan ukurannya.
3) Move (pergerakan terutama lingkup
gerak)
Setelah
dilakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakkan ekstremitas
dan catat apakah ada keluhan nyeri pada pergerakan. Gerakan sendi dicatat
dengan ukuran derajat, tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral)
atau dalam ukuran metric. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas atau tidak).
(Padila, 2012 : 317)
B. Analisa Data
No
|
Data Fokus
|
Problem
|
Etiologi
|
Pathway
|
1
|
DS: klien mengeluh kaki kanan sakit sekali
DO: dari hasil pemeriksaan radiology diperoleh ada fraktur cruris 1/3
distal, adanya bengkak, deformitas
|
Nyeri
|
Diskontinuitas tulang
|
Cedera jaringan atau kulit
Diskontinuitas tulang
Pergeseran fragmen tulang
proses inflamasi
menekan ujung
syaraf bebas
nosiseptor
Medulla spinalis
Korteks
serebri
Nyeri
|
2
|
DS: klien mengatakan kaki kanannya tidak dapat digerakkan
DO: pemeriksaan ada tanda fungsio laesa, deformitas,
bengkak dan jejas trauma, dan terpasang fiksasi spalk
|
Hambatan mobilitas fisik
|
Terapi pembatasan aktivitas
|
Diskontuinitas tulang
Kerusakan fragmen tulang
Deformitas
tulang
Gangguan
fungsi (fungsio laesa)
Terapi dengan
pemasangan spalk
Hambatan
mobilitas fisik
|
C. Diagnosa Keperawatan
D. Intervensi Keperawatan
1. Dx: nyeri
berhubungan dengan diskontuinitas tulang
Tujuan ; nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan
Kriteria hasil:
-
Klien
menyatajkan nyei berkurang
-
Tampak
rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat
-
Tekanan
darahnormal
-
Tidak
ada eningkatan nadi dan RR
Intervensi:
a. Kaji ulang lokasi, intensitas dan tpe nyeri
b. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring
c. Berikan lingkungan yang tenang dan berikan dorongan untuk
melakukan aktivitas hiburan
d. Ganti posisi dengan bantuan bila ditoleransi
e. Jelaskanprosedu sebelum memulai
f. Akukan danawasi latihan rentang gerak pasif/aktif
g. Drong menggunakan tehnik manajemen stress, contoh : relasksasi,
latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan
h. Observasi tanda-tanda vital
i. Kolaborasi : pemberian analgetik
2. Dx: hambatan mobilitas fisik berhubungan
dengan
Tujuan : kerusakn mobilitas fisik dapat berkurang setelah
dilakukan tindakan keperaawatan terapi pembatasan aktivitas
Kriteria hasil:
-
Meningkatkan
mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
-
Mempertahankan
posisi fungsinal
-
Meningkaatkan
kekuatan /fungsi yang sakit
-
Menunjukkan
tehnik mampu melakukan aktivitas
Intervensi:
a. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan
b. Tinggikan ekstrimutas yang sakit
c. Instruksikan klien/bantu dalam latian rentanng gerak pada
ekstrimitas yang sakit dan tak sakit
d. Beri penyangga pada ekstrimit yang sakit diatas dandibawah
fraktur ketika bergerak
e. Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas
f. Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan AKS dalam lngkup
keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan’Awasi teanan daraaah, nadi
dengan melakukan aktivitas
g. Ubah psisi secara periodic
h. Kolabirasi fisioterai/okuasi terapi