askep PPOK


A.    Pengertian
Ketidakefektivan pola napas adalah inspirasi dan / atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi yang adekuat (Wilkinson, 2007).

B.    Etiologi
Menurut Wilkinson (2007) etiologi dari masalah keperawatan ketidakefektivan pola napas, antara lain:
a.      Ansietas
b.     Kelelahan otot-otot respirasi
c.      Penurunan energi/kelelahan
d.     Deformitas dinding dada
e.      Nyeri
f.      Disfungsi neuromuskular

C.    Batasan Karakteristik
Menurut Wilkinson (2007) batasan karakteristik dari masalah keperawatan ketidakefektivan pola napas, antara lain:
a.      Dispnea
b.     Napas pendek
c.      Perubahan gerakan dada
d.     Napas cuping hidung
e.      Penggunaan otot-otot bantu pernapasan

D.    Patofisiologi dan Pathway Keperawatan
Pasien emfisema kronik biasanya juga menderita bronkitis kronik dan memperlihatkan tanda-tanda kedua penyakit. Keadaan ini disebut penyakit paru obstruktif kronik. Asma kronik yang berkaitan dengan emfisema atau bronkitis kronik juga dapat menyebabkan PPOK. Gambaran klinis PPOK akan dijumpai gejala-gejala dari kedua penyakit, emfisema atau bronkitis kronik, dispnea yang menetap. Adapun komplikasi dari penyakit ini yaitu hipertensi paru yang menyebabkan kor pulmonale, pneumotooraks (Corwin, 2001). Hudak dan Gallo (1996) menerangkan PPOK meliputi bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema, dan asma. Infeksi kronis atau iritasi bronkus dapat menyebabkan bronkitis. Kelenjar sekresi-mukosa dari pohon trakeobronkial menjadooi menebal dan mengganggu diameter kumen jalan napas. Selain itu, ada peningkatan produksi mukus pada jalan napas perifer. Sejauh itu penyebab paling umum adalah merokok dengan tembakau. Dua mikroorganisme paling umum diisolasi dari sekresi bronkitis koronis adalah Haemophilus influenzae dan Pneumococus spp. Eksaserbasi bronkitis kronis dengan kegagalan pernapasan  lanjut paling sering disebabkan oleh inflamasi bakteri akut pada pohon bronkial. Emfisema adalah dilatasi asinus yang tak dapat pulih diperberat oleh perubahan obstruksi dari dinding asinar, dengan penurunan rekoil elastis dari paru. Perokok sigaret adalah faktor utama pada terjadinya emfisema. Selain itu, elastase dapat lepaskan dari neutrofil karena komponen rokok. Selain itu, faktor ini berperan dalam ketidakseimbangan elastase/sistem anti-elastase. Proses kerusakan menyebabkan terjadinya obstruksi jalan napas yang membahayakan. Pada bronkitis kronis, pasien dengan emfisema biasanya mengalami hipoksemia kronis ringan karena obstruksi dinding asinar diperberat oleh kerusakan vaskularisasi yang terlibat. Rasio ventilasi untuk perfusi jaringan paru masih stabil. Pada pembandingan dengan emfisema dan untuk memeprkecil luasnya bronkitis koronis, asma adalah penyakit jalan napas yang tak dapat pulih yang terjadi karena spasme bronkus disebabkan oleh berbagai penyebab (misal alergen, infeksi, latihan). Spasme bronkus secara nyata meliputi konstriksi otot polos, edema mukosa, dan mukus berlebihan dengan perlengketan di jalan napas pada tahap lanjut. Perbaikan spasme bronkus spontan dapat terjadi, namun menggunakan agen bronkodilator, selain itu higiene jalan napas adalah mode pengobatan biasa. Menurut Corwin (2001), penatalaksanaan PPOK adalah sama seperti pada bronkitis kronis dan emfisema, dengan pengecualian bahwa terapi oksigen harus dipantau secara ketat. Pasien PPOK mengalami hiperkapnia koronik yang menyebabkan adaptasi kemoreseptor-kemoreseptor sentral, yang dalam keadaan normal berespons terhadap karbon dioksida. Maka yang menyebabkan pasien terus bernapas adalah rendahnya konsentrasi oksigen di dalam darah arteri yang terus merangsang kemoresptor-kemoreseptor perifer yang relatif kurang peka. Pengidap PPOK biasanya memiliki kadar oksigen yang sangat rendah dan tidak dapat diberi terapi dengan oksigen tinggi. Hal ini sangat mempengaruhi kualitas hidup. Ventimask adalah cara paloing efektif untuk memberikan oksigen pada pasien PPOK.
Pathway




















Penyebab asma (misal alergen, infeksi, latihan)
 






Konstriksi otot polos, edema mukosa, dan mukus berlebihan
 





Spasme bronkus
 

Penurunan suplai oksigen
 









Ketidak Efektivan Pola Napas
 
 
























E.     Intervensi Keperawatan

No
Intervensi
Rasionalisasi
1.
Pantau adanya pucat dan sianosis
Pucat dan sianosis menandakan adanya kekurangan oksigen di jaringan
2.
Auskultasi bunyi paru
Untuk mengetahui adanya penurunan atau tidak adanya ventilasi dan adanya bunyi tambahan
3.
Kaji kebutuhan insersi jalan napas
Insersi jalan napas dibutuhkan jika jalan napas mengalami masalah
4.
Perhatikan pergerakkan dada, amati penggunaan otot-otot bantu
Pergerakkan dada yang cepat dan adanya penggunaan otot-otot bantu menandakan kebutuhan oksigen yang tinggi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

ketidakefektifan pola napas


A.    Pengertian
Ketidakefektifan pola napas adalah inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi yang adekuat (Wilkinson, 2006).
Pola nafas tidak efektif adalah ventilasi atau pertukaran udara inspirasi dan atau ekspirasi tidak adekuat. (Santoso, Budi.2006).
                                                                                            
B.    Etiologi
1)     Ansietas
2)     Posisi tubuh
3)     Deformitas tulang
4)     Deformitas dinding dada
5)     Penurunan energi/kelelahan
6)     Hiperventilasi
7)     Sindrom hipoventilasi
8)     Kerusakan muskuloskeletal
9)     Imaturitas neurologis
10) Disfungsi neuromuskular
11) Obesitas
12) Nyeri
13) Kerusakan persepsi/kognitif
14) Kelelahan otot-otot respirasi
15) Cedera tulang belakang

C.    Batasan Karakteristik
1)     Subjektif
a.      Dispnea
b.     Napas pendek
2)     Objektif
a.      Perubahan gerak dada
b.     Mengambil posisi tiga titik
c.      Penurunan tekanan inspirasi / ekspirasi
d.     Penurunan ventilasi semenit
e.      Penurunan kapasitas vital
f.      Napas dalam
g.     Peningkatan diameter anterior-posterior
h.     Napas cuping hidung
i.       Ortopnea
j.       Fase ekspirasi yangv lama
k.     Pernapasan pursed-lip
l.       Kecepatan respirasi (usia dewasa 14 tahun atau lebih <11-24 x/menit, bayi 25-60, usia 1-4 <20-30, usia 5-14 <15-25)
m.   Rasio waktu
n.     Penggunaan otot-otot bantu untuk bernapas


  1. Patofisiologi dan Pathway Keperawatan
Gagal jantung adalah suatu keadaan ketidakmampuan jantung untuk memompakan cukup darah keseluruhan tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolic tubuh (tambayong, 2000).
Penyebab gagal jantung meliputi apapun yang menyebabkan peningkatan volume plasma sampai derajat tertentu sehingga volume diastolik akhir meregangkan serat-serat ventrikel melebihi panjang optimumnya. Seiring dengan peningkatan progresif volume diastolik akhir, sel-sel otot ventrikel mengalami peregangan melebihi panjang optimumnya sehingga serat-serat otot tertinggal dalam kurva panjang-tegangan. Tegangan yang dihasilkan menjadi berkurang karena ventrikel teregang oleh darah.
 Gagal jantung adalah suatu lingkaran yang tidak berkesudahan. Semakin terisi berlebihan ventrikel, semakin sedikit darah yang dapat dipompa keluar sehingga akumulasi darah dan peregangan serat otot bertambah. Akibatnya, volume sekuncup, curah jantung dan tekanan darah turun. Respon-respon reflek tubuh yang mulai bekerja sebagai jawaban terhadap penurunan tekanan darah akan secara bermakna memperburuk situasi.
Penurunan tekanan darah dirasakan oleh baroreseptor. Sebagian besar respon reflek yang dicetuskan oleh pengaktifan baroreseptor secara bermakna  memperparah perkembangan gagal jantung. Hal ini terjadi karena respon-respon reflek tersebut menyebabkan peningkatan pengisian ventrikel (preload) atau semakin menurunkan volume sekuncup dengan meningkatkan afterload yang harus dilawan oleh kerja ventrikel. Peningkatan preload dan afterload menyebabkan peningkatan beban kerja dan kebutuhan oksigen jantung. Apabila kebutuhan oksigen yang meningkat tersebut tidak dapat terpenuhi, maka serat-serat otot akan menjadi semakin hipoksik sehingga kontraktilitas berkurang. Akibat buruknya kontraktilitas, mulai terjadi akumulasi volume di vantrikel. Siklus perburukan gagal jantung berulang.
Karena reflek-reflek tersebut terus menyebabkan peningkatan pengisian dan peregangan jantung dan/atau afterload, maka tekanan darah terus berada di bawah normal, sehingga reflek-reflek tersebut terus dipertahankan dan ditingkatkan. Gagal jantung akan berlanjut kecuali apabila siklus pengisian berlebihan, penurunan volume sekuncup dan penurunan tekanan darah dapat diatasi.
Gagal jantung dapat dimulai di sisi kiri atau kanan jantung. Sebagai contoh, hipertensi sistemik yang kronik akan menyebabkan ventrikel kiri mengalami hipertrofi dan melemah. Hipertensi paru yang berlangsung lama akan menyebabkan ventrikel kanan mengalami hipertrofi dan melemah. Letak suatu infark miokardium akan menentukan sisi jantung yang pertama kali terkena setelah terkena serangan jantung.
Karena ventrikel kiri yang melemah menyebabkan darah kembali ke atrium, lalu ke sirkulasi paru, ventrikel kanan dan atrium kanan, maka jelaslah bahwa gagal jantung kiri akhirnya akan menyababkan gagal jantung kanan. Pada kenyataannya penyebab gagal jantung kanan adalah gagal jantung kiri. Karena tidak dipompa secara optimum keluar dari sisi kanan jantung, maka darah ,mulai terkumpul di sistem vena perifer. Hasil akhirnya adalah semakin berkurangnya volume darah dalam sirkulasi dan menurunnya tekanan darah serta perburukan siklus jantung.
Factor predisposisi dan presipitasi


 
Hipertropi ventrikel kiri

Kontraktilitas jantung menurun


 
Penurunan kardiac output


 
Penurunan darah dan O2 keparu

Dispnea


 
Hiperventilasi

Pola Nafas Tidak Efektif

  1. Intervensi Keperawatan
Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien menunjukkan status pernapasan : Ventilasi tidak terganggu.
Kriteria hasil :
a.      Kedalaman inspirasi dan kemudahan bernapas
b.     Ekspansi dada simetris
c.      Tifdak ada penggunaan otot bantu pernapasan
d.     Bunyi napas tambahan tidak ada
e.      Napas pendek tidak ada.




Intervensi :
1.   Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan usaha respirasi
2.   Pertahankan pergerakkan dada, amati kesimetrisan, penggunaan otot-otot bantu, serta retraksi otot supraklavikular dan interkostal
3.   Auskultasi bunyi napas
4.   Pantau peningkatan kegelisahan, ansietas dan tersengal-sengal
5.   Berikan posisi semi fowler/ fowler
6.   Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

askep fraktur cruris 1/3 distal

BAB I
PENDAHULUAN



A.  Latar Belakang
Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO telah menetapkan dekade ini (2000-2010) menjadi Dekade Tulang dan PersendianPenyebab fraktur terbanyak adalah karena kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas ini selain menyebabkan fraktur, menurut WHO juga menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap tahunnya, dimana sebagian besar korbannya adalah remaja atau dewasa muda.
Fraktur adalah salah satu gangguan musculoskeletal yang umum yang disebabkan oleh trauma. Dengan semakin pesatnya kemajuan lalu lintas di Indonesia maka mayoritas fraktur adalah akibat kecelakaan lalu-lintas. Kecelakaan lalu-lintas dengan kecepatan tinggi sering menyebabkan trauma. dan kita harus waspada terhadap kemungkinan polytrauma yang dapat mengakibatkan trauma organ-organ lain. Trauma-trauma lain adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, kecelakaan domestik, dan kecelakaan/cidera olahraga.
Menurut Smeltzer (2001 : 2357) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Prinsip mengenai fraktur meliputi reduksi yaitu memperbaiki posisi fragmen yang terdiri dari reduksi tertutup (tanpa operasi) dan reduksi terbuka ( dengan operasi), mempertahankan reduksi / imobilisasi yaitu tindakan untuk mencegah pergeseran dengan traksi terus nmenerus, pembebatan dengan gips, pemakaian penahan fungsional, fiksasi internal dan fiksasi eksternal, memulihkan fungsi yang tujuannya adalah mengurang oedem, mempertahankan gerakan sendi, memulihkan kekuatan otot dan memandu pasien kembali ke aktifitas normal. (Apley & Solamon 1995)
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik membuat makalah tentang fraktur secara umum dan khususnya fraktur 1/3 distal dextra

B.  Tujuan Penulisan
1.     Tujuan Umum
Untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mahasiswa dalam mempelajari fraktur dan dapat diterapkan dalam kehidupan sesuai teori yang ada.
2.     Tujuan Khusus
a.    Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari fraktur secara umum
b.   Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui klasifikasi fraktur
c.    Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui etiologi/penyebab terjadinya fraktur
d.   Diharapkan mahasiswa dapat mengerti tentang  manifestasi fraktur
e.    Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui komplikasi dari fraktur
f.    Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan dari faktur.
g.   Agar dapat mamberikan askep pada fraktur tibia fibula cruris 1/3 distal dextra mulai dari pengkajian sampai evaluasi dengan baik dan benar


BAB II
TINJAUAN TEORI


A.  Pengertian Fraktur Cruris
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2001).
Cruris berasal dari bahasa latin crus atau cruca yang berarti tungkai bawah yang terdiri dari tulang tibia dan fibula (Ahmad Ramali, 1987). 1/3 distal dextra adalah tulang dibagi menjadi tiga bagian kemudian bagian paling bawah yang diambil.
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart, 2000).

B.  Klasifikasi Fraktur
1.     Fraktur berdasarkan derajat atau luas garis fraktur terbagi menjadi :
a.    Fraktur complete, dimana tulang patah terbagi menjadi dua bagian (fragmen) atau lebih, 

b.   Fraktur incomplete (parsial). Fraktur parsial terbagi lagi menjadi :
1)  Fissure/Crack/Hairline, tulang terputus seluruhnya tetapi masih di tempat, biasa terjadi di tulang pipih.
2)  Greenstick Fracture, biasa terjadi pada anak-anak dan pada os. radius, ulna, clavikula dan costae.
3)  Buckle Fracture, fraktur dimana korteksnya melipat ke dalam.
2.     Berdasarkan garis patah atau konfigurasi tulang:
a.    Transversal, garis patah tulang melintang sumbu tulang (80-1000 dari sumbu tulang)
b.   Oblik, garis patah tulang melintang sumbu tulang (<800 atau >1000 dari sumbu tulang)
c.    Longitudinal, garis patah mengikuti sumbu tulang
d.   Spiral, garis patah tulang berada di dua bidang atau lebih
e.    Comminuted, terdapat dua atau lebih garis fraktur.
3.     Berdasarkan hubungan antar fragman fraktur :
a.    Undisplace, fragment tulang fraktur masih terdapat pada tempat anatomisnya
b.   Displace, fragmen tulang fraktur tidak pada tempat anatomisnya, terbagi atas :
1)  Shifted Sideways, menggeser ke samping tapi dekat
2)  Angulated, membentuk sudut tertentu
3)  Rotated, memutar
4)  Distracted, saling menjauh karena ada interposisi
5)  Overriding, garis fraktur tumpang tindih
6)  Impacted, satu fragmen masuk ke fragmen yang lain.
4.     Secara umum berdasarkan ada tidaknya hubungan antara tulang yang fraktur dengan dunia luar, fraktur juga dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
a.    Fraktur tertutup, apabila kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh
b.   Fraktur terbuka, apabila kulit diatasnya tertembus dan terdapat luka yang menghubungkan tulang yang fraktur dengan dunia luar yang memungkinkan kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang sehingga cenderung untuk mengalami kontaminasi dan infeksi. fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat, yaitu :
1)     Derajat I
a)   luka kurang dari 1 cm
b)   kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
c)   fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
d)   Kontaminasi ringan.
2)     Derajat II
a)   Laserasi lebih dari 1 cm
b)   Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
c)   Fraktur komuniti sedang.
3)     Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.

C.  Etiologi Fraktur
Penyebab fraktur diantaranya:
1.     Trauma
Jika kekuatan langsung mengenai tulang maka dapat terjadi patah pada tempat yang terkena, hal ini juga mengakibatkan kerusakan pada jaringan lunak disekitarnya. jika kekuatan tidak langsung mengenai tulang maka dapat terjadi fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena dan kerusakan jaringan lunak ditempat fraktur mungkin tidak ada. Fraktur karena trauma dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
a.    Trauma langsung. Benturan pada tulang mengakibatkan ditempat tersebut.
b.   Trauma tidak langsung. Titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.
2.     Fraktur Patologis
Adalah suatu fraktur yang secara primer terjadi karena adanya proses pelemahan tulang akibat suatu proses penyakit atau kanker yang bermetastase atau osteoporosis.
3.     Fraktur akibat kecelakaan atau tekanan
Tulang juga bisa mengalami otot-otot yang berada disekitar tulang tersebut tidak mampu mengabsorpsi energi atau kekuatan yang menimpanya.
4.     Spontan . Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.
5.     Fraktur tibia dan fibula yang terjadi akibat pukulan langsung, jatuh dengan kaki dalam posisi fleksi atau gerakan memuntir yang keras.
6.     Fraktur tibia dan fibula secara umum akibat dari pemutaran pergelangan kaki yang kuat dan sering dikait dengan gangguan kesejajaran.
(Apley, G.A. 1995 : 840)
D.  Manifestasi Klinis Fraktur
1.   Deformitas
2.   Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang brrpindah dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti :
a.    Rotasi pemendekan tulang
b.   Penekanan tulang
3.   Bengkak : edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
4.   Echumosis dan perdarahan subculaneus
5.   Spasme otot spasme involunters dekat fraktur.
6.   Tendernes/keempuka
7.   Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
8.   Kehilangan sensasi  (Mati rasa, munkin terjadi dari rusaknya saraf / perdarahan)
9.   Pergerakan abnormal
10.    Syock hipovolemik dari hilangnya  hasil darah
11.    Krepitasi

E.   Patofisiologi Fraktur
Ketika tulang patah, periosteum dan pembuluh darah di bagian korteks, sumsum tulang dan jaringan lunak didekatnya (otot) cidera pembuluh darah ini merupakan keadaan derajat yang memerlukan pembedahan segera sebab dapat menimbulkan syok hipovolemik. Pendarahan yang terakumulasi menimbulkan pembengkakan jaringan sekitar daerah cidera yang apabila di tekan atau di gerakan dapat timbul rasa nyeri yang hebat yang mengakibatkn syok neurogenik. (Mansjoer Arief, 2002)
Sedangkan kerusakan pada system persyarafan akan menimbulkan kehilangan sensasi yang dapat berakibat paralysis yang menetap pada fraktur juga terjadi keterbatasan gerak oleh karena fungsi pada daerah cidera. Sewaktu tulang patah pendarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah, kedalam jaringan lemak tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan.Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa – sisa sel mati di mulai. Di tempat patah terdapat fibrin hematoma fraktur dan berfungsi sebagai jala-jala untuk membentukan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yg disebut callus.Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tuulang baru mengalmi remodelling untuk membentuk tulang sejati. (Mansjoer Arief, 2002)

F.   Pemeriksaan Penunjang
1.   Foto Rontgen
a.    Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
b.   Mengetahui tempat atau tipe fraktur. Biasanya diambil sebelum dan sesudah serta selama proses penyembuhan secara periodik. 

1.   Artelogram bila ada kerusakan vaskuler
2.   Hitung darah lengkap HT mungkin terjadi (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada organ multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah kompensasi normal setelah fraktur.
3.   Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau trauma hati.
4.   Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Hal yang harus dibaca pada x-ray:
a.    Bayangan jaringan lunak.
b.   Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
c.    Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d.    Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
5.   Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
a.    Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
b.   Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
c.    Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
d.   Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.


6.   Pemeriksaan Laboratorium
a.    Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
b.   Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c.    Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
d.   Pemeriksaan lain-lain
e.    Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
f.    Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
g.   Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
h.   Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
i.     Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
j.     MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)





A.  Penatalaksanaan Fraktur
Prinsip penanganan fraktur meliputi rekognisi, traksi, reduksi  imobilisasi dan pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
1.   Rekognasi
Pergerakan relatif sesudah cidera dapat mengganggu suplai neurovascular ekstremitas yang terlibat. Karena itu begitu diketahui kemungkinan fraktur tulang panjang, maka ekstremitas yang cedera harus dipasang bidai untuk melindunginya dari kerusakan yang lebih parah.
Kerusakan jaringan lunak yang nyata dapat juga dipakai sebagai petunjuk kemungkinan adanya fraktur, dan dibutuhkan pemasangan bidai segera dan pemeriksaan lebih lanjut. Hal ini khususnya harus dilakukan pada cidera tulang belakang bagian servikal, di mana contusio dan laserasio pada wajah dan kulit kepala menunjukkan perlunya evaluasi radiografik, yang dapat memperlihatkan fraktur tulang belakang bagian servikal dan/atau dislokasi, serta kemungkinan diperlukannya pembedahan untuk menstabilkannya.
      (Smeltzer C dan B. G Bare, 2001)
2.   Traksi
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 2 macam yaitu:
a.     Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menempelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang cedera, dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).


b.   Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan memasukkan pins / kawat ke dalam tulang.
3.   Reduksi 
Dalam penatalaksanaan fraktur dengan reduksi dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
a.    Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragment tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi, dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap sama.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus disiapkan untuk menjalani prosedur dan harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anesthesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Reduksi tertutup pada banyak kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragment tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
b.   Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)
Pada Fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal atau yang biasa dikenal dengan OREF, biasanya dilakukan pada fraktur yang terjadi pada tulang panjang dan fraktur fragmented. Eksternal dengan fiksasi, pin dimasukkan melalui kulit ke dalam tulang dan dihubungkan dengan fiksasi yang ada dibagian luar. Indikasi yang biasa dilakukan penatalaksanaan dengan eksternal fiksasi adalah fraktur terbuka pada tulang kering yang memerlukan perawatan untuk dressings. Tetapi dapat juga dilakukan pada fraktur tertutup radius ulna. Eksternal fiksasi yang paling sering berhasil adalah pada tulang dangkal tulang misalnya tibial batang.
4.   Imobilisasi Fraktur
Setelah fraktur di reduksi, fragment tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.

B.  Perawatan Perioperatif Di Kamar Bedah
1.   Perawatan Pre Operasi:
a.    Persiapan Pre Operasi:
1)  Pasien sebaiknya tiba di ruang operasi dengan daerah yang akan di operasi sudah dibersihkan (di cukur dan personal hygiene)
2)  Kateterisasi
3)  Persiapan saluran pencernaan dengan puasa mulai tengah malam sebelum operasi esok paginya (pada spinal anestesi dianjurkan untuk makan terlebih dahulu)
4)  Informed Consent
5)  Pendidikan Kesehatan (Penkes) mengenai tindakan yang dilakukan di meja operasi, seperti anestesi yang digunakan, tindakan yang dilakukan dan lamanya operasi
b.   Perawatan Pre Operasi:
1)  Menerima Pasien:
2)  Memeriksa kembali persiapan pasien:
a)   Identitas pasien
b)   Surat persetujuan operasi
c)   Pemeriksaan laboratorium darah, rontgen, EKG.
3)  Mengganti baju pasien
4)  Menilai KU dan TTV
a)   Memberikan Pre Medikasi: Mengecek nama pasien sebelum memberikan obat dan memberikan obat pre medikasi.
b)   Mendorong pasien kekamar tindakan sesuai jenis kasus pembedahan
c)   Memindahkan pasien ke meja operasi

C.  Proses Penyambungan Tulang
1.     Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur (Apley, 1995). Hal ini mengakibatkan gangguan suplay darah pada tulang yang berdekatan dengan fraktur dan mematikannya (Maurice King, 2001).
2.     Proliferasi
Dalam 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam saluran medulla yang tertembus. Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke dalam daerah itu (Apley, 1995).
3.     Pembentukan callus
Selama beberapa minggu berikutnya, periosteum dan endosteum menghasilkan callus yang penuh dengan sel kumparan yang aktif. Dengan pergerakan yang lembut dapat merangsang pembentukan callus pada fraktur tersebut (Maurice King, 2001).
4.     Konsolidasi
Selama stadium ini tulang mengalami penyembuhan terus-menerus. Fragmen yang patah tetap dipertahankan oleh callus sedangkan tulang mati pada ujung dari masing-masing fragmen dihilangkan secara perlahan, dan ujungnya mendapat lebih banyak callus yang akhirnya menjadi tulang padat (Maurice King, 2001). Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk membawa beban yang normal (Apley, 1995).
5.     Remodeling
Tulang yang baru terbentuk, dibentuk kembali sehingga mirip dengan struktur normal (Appley, 1995). Semakin sering pasien menggunakan anggota geraknya, semakin kuat tulang baru tersebut (Maurice King, 2001).
Faktor yang Mempercepat Penyembuhan Fraktur:
a.    Imobilisasi fragment tulang
b.   Kontak fragment tulang maksimal
c.     Asupan darah yang memadai
d.   Nutrisi yang baik
e.    Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang
f.    Hormon-hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D, steroid anabolik.
Faktor yang Menghambat Penyembuhan Tulang:
a.    Trauma lokal ekstensif
b.   Kehilangan tulang
c.    Imobilisasi tak memadai
d.   Rongga atau jaringan di antara fragmen tulang
e.    Infeksi
f.    Keganasan lokal
g.   Penyakit tulang metabolik (mis. penyakit Paget)

h.   Radiasi tulang (nekrosis radiasi)Nekrosis avaskuler
i.     Usia (lansia sembuh lebih lama). (Smeltzer  dan Bare, 2001 : 2386)

D.  Komplikasi
1.   Dini
c.    Compartement syndrome
Merupakan komlikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh odem atau perdarahan yang menekan otot, saraf dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips, dan embebatan yang terlalu kuat
1)  Tekanan intracompartement dapat diukir langsung dengan cara whitesides.
2)  Penanganan: dalam waktu kurang 12 jam harus dilakukan fascioterapi.
d.   Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi di mulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi juga bisa karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat
e.    Avaskuler nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ketulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia
f.     Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.

                                                                                                (Padila, 2012 : 306)
2.   Lanjut
a.      Malunion: biasanya terjadi pada fraktur yang komminutiva sedang immobilisasinya longgar, sehingga terjadi angulasi dan rotasi. Untuk memperbaiki perlu dilakukan osteotomi.
b.     Delayed union: terutama terjadi pada fraktur terbuka yang diikuti dengan infeksi atau pada frakter yang communitiva. Hal ini dapat diatasi dengan operasi bonegraft alih tulang spongiosa.
c.      Non union: Disebabkan karena terjadi kehilangan segmen tulang tibia disertai dengan infeksi. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan bone grafting menurut cara papineau.
d.     Kekakuan sendi: Hal ini disebabkan karena pemakaian gips yang terlalu lama. Pada persendian kaki dan jari-jari biasanya terjadi hambatan gerak, hal ini dapat diatasi dengan fisiotherapi .
                                                                                                (Padila, 2012 : 306)



ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.H DENGAN FRAKTUR CRURIS 1/3 DISTAL DEXTRA

Tinjauan Kasus
Sdr. H umur 25 tahun datang dengan riwayat kecelakaan lalu lintas dengan trauma pada kaki bawah kanan , mengeluh kaki kanan sakit sekali dan tidak bisa digerakan dalam pemeriksaan ada tanda fungsio laesa, deformitas, bengkak dan jejas trauma, dari pemeriksaan radiology diperoleh ada fraktur cruris 1/3 distal, di UGD terpasang fiksasi spalk dan konsul dr. SpBO.

A.  Pengkajian
1.   Pengumpulan Data
a.    Anamnesa
1)  Identitas klien
2)  Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronis tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh data tentang nyeri digunakan P, Q, R, S, T.
3)   Riwayat Penyakit Sekarang
4)  Riwayat Penyakit Dahulu
5)  Riwayat Penyakit Keluarga
6)  Riwayat Psikososial
7)  Pola-pola Fungsi Kesehatan menurut Gordon
8)  Pemeriksaan Fisik
9)  Pemeriksaan diagnostik
b.   Data Fokus
Pemeriksaan pada system musculoskeletal adalah
1)  Look (inspeksi)
a)   Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan)
b)   Cape au lait spot
c)   Fistulae
d)   Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hiperpigmentasi
e)   Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal)
f)     Posisi dan bentuk dari ekstremitas (deformitas)
g)   Posisi jalan (gait, waktu masuk kekamar operasi)
2)  Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Yang perlu dicatat adalah:
a)   Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembapan kulit
b)   Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedem terutama disekitar persendian
c)   Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, distal)
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang terdapat dipermukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaanya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak dan ukurannya.
3)  Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah dilakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakkan ekstremitas dan catat apakah ada keluhan nyeri pada pergerakan. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metric. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas atau tidak).
                                                                                    (Padila, 2012 : 317)





B.  Analisa Data
No
Data Fokus
Problem
Etiologi
Pathway
1
DS: klien mengeluh kaki kanan sakit sekali
DO: dari hasil pemeriksaan radiology diperoleh ada fraktur cruris 1/3 distal, adanya bengkak, deformitas
Nyeri
Diskontinuitas tulang


















Cedera jaringan atau kulit

Diskontinuitas tulang

Pergeseran fragmen tulang
proses inflamasi

menekan ujung syaraf bebas

nosiseptor


 


Medulla spinalis

Korteks serebri


 
Nyeri


2
DS: klien mengatakan kaki kanannya tidak dapat digerakkan
DO: pemeriksaan ada tanda fungsio laesa, deformitas, bengkak dan jejas trauma, dan terpasang fiksasi spalk
Hambatan mobilitas fisik
Terapi pembatasan aktivitas
Diskontuinitas tulang

Kerusakan fragmen tulang

Deformitas tulang

Gangguan fungsi (fungsio laesa)

Terapi dengan pemasangan spalk

Hambatan mobilitas fisik


C.  Diagnosa Keperawatan
D. Intervensi Keperawatan
1.   Dx: nyeri berhubungan dengan diskontuinitas tulang

Tujuan ; nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan
Kriteria hasil:
-        Klien menyatajkan nyei berkurang
-        Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat
-        Tekanan darahnormal
-        Tidak ada eningkatan nadi dan RR


Intervensi:
a.      Kaji ulang lokasi, intensitas dan tpe nyeri
b.      Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring
c.      Berikan lingkungan yang tenang dan berikan dorongan untuk melakukan aktivitas hiburan
d.      Ganti posisi dengan bantuan bila ditoleransi
e.      Jelaskanprosedu sebelum memulai
f.       Akukan danawasi latihan rentang gerak pasif/aktif
g.      Drong menggunakan tehnik manajemen stress, contoh : relasksasi, latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan
h.     Observasi tanda-tanda vital
i.       Kolaborasi : pemberian analgetik
2.      Dx: hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan

Tujuan : kerusakn mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan keperaawatan terapi pembatasan aktivitas
Kriteria hasil:
-        Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
-        Mempertahankan posisi fungsinal
-        Meningkaatkan kekuatan /fungsi yang sakit
-        Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas
Intervensi:
a.      Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan
b.      Tinggikan ekstrimutas yang sakit
c.      Instruksikan klien/bantu dalam latian rentanng gerak pada ekstrimitas yang sakit dan tak sakit
d.      Beri penyangga pada ekstrimit yang sakit diatas dandibawah fraktur ketika bergerak
e.      Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas
f.       Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan AKS dalam lngkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan’Awasi teanan daraaah, nadi dengan melakukan aktivitas
g.      Ubah psisi secara periodic
h.     Kolabirasi fisioterai/okuasi terapi



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments