ASKEP BRONKOPNEUMONIA



2.1     Konsep Dasar
2.1.1    Definisi
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus / bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution).
Bronchopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak Infiltrat (Whalley and Wong, 1996).
Bronchopneumina adalah frekwensi komplikasi pulmonary, batuk produktif yang lama, tanda dan gejalanya biasanya suhu meningkat, nadi meningkat, pernapasan meningkat (Suzanne G. Bare, 1993).
Bronchopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing (Sylvia Anderson, 1994).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri,virus, jamur dan benda asing.

2.1.2    Epidemiologi
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun.(1)
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10 %.Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris.Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Di SMF Paru RSUP Persahabatan tahun 2001 infeksi juga merupakan penyakit paru utama, 58 % diantara penderita rawat jalan adalah kasus infeksi dan 11,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis, pada penderita rawat inap 58,8 % kasus infeksi dan 14,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis. Di RSUP H. Adam Malik Medan 53,8 % kasus infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi nontuberkulosis. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia komuniti dengan angka kematian antara 20 - 35 %. Pneumonia komuniti menduduki peringkat keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun.
2.1.3    Etiologi
Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah :
·           Faktor Infeksi
-          Pada neonatus : Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
-          Pada bayi :
Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus.
Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
Bakteri : Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza,
Mycobacterium tuberculosa, B. pertusis.
-          Pada anak-anak :
Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
Bakteri : Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosa.

-          Pada anak besar – dewasa muda :
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
Bakteri : Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis.
·           Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
-          Bronkopneumonia hidrokarbon :
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung ( zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
-          Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti  latoskizis,pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan .
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya Bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak, malnutrisi energy protein (MEP), penyakit menahun, pengobatan antibiotik yang tidak sempurna merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.

2.1.4    Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan.Pembagian secara anatomis :
-            Pneumonia lobaris
-            Pneumonia lobularis (bronkopneumonia)
-            Pneumonia interstisialis (bronkiolitis)
-            Pembagian secara etiologi :
-              Bakteri : Pneumococcus pneumonia, Streptococcus pneumonia, Staphylococcus pneumonia, Haemofilus influenzae.
-               Virus : Respiratory Synctitial virus, Parainfluenzae virus, Adenovirus
-              Jamur : Candida, Aspergillus, Mucor, Histoplasmosis, Coccidiomycosis,     Blastomycosis, Cryptoccosis.
-              Corpus alienum
-              Aspirasi
-              Pneumonia hipostatik

2.1.5    Patogenesis
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain :Inhalasi langsung dari udaraAspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring Perluasan langsung dari tempat-tempat lain Penyebaran secara hematogen Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah infeksi yang terdiri dari : Susunan anatomis rongga hidung Jaringan limfoid di nasofaring Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut. Refleks batuk. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A. Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik. Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu : A. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti) Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi.
Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. B. Stadium II (48 jam berikutnya) Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. C. Stadium III (3 – 8 hari) Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti. D.
Stadium IV (7 – 11 hari) Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
2.1.6    Gambaran Klinis
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40˚C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnea, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan : Inspeksi : pernafasan cuping hidung (+), sianosis sekitar hidung dan mulut, retraksi sela iga. Palpasi : Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit. Perkusi : Sonor memendek sampai beda Auskultasi : Suara pernafasan mengeras (vesikuler mengeras) disertai ronki basah gelembung halus sampai sedang.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang terkena.Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan.Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu ( konfluens ) mungkin pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium resolusi ronki dapat terdengar lagi.Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu.
2.1.7    Pemeriksaan Laboratorium
a.         Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 – 40.000/ mm­­­3 dengan pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat berhubungan dengan infeksi virus atau mycoplasma.
b.        Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun
c.         Sinar x  : mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan abses luas/infiltrat, empiema(stapilococcus); infiltrasi menyebar atau terlokalisasi (bakterial); atau penyebaran /perluasan infiltrat nodul (virus). Pneumonia mikoplasma sinar x dada mungkin bersih.
d.        Analisa gas darah( AGDA ) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia.Pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis metabolik.
e.         Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah : diambil dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab. Kultur dahak dapat positif pada 20 – 50% penderita yang tidak diobati.
f.         JDL      : leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada infeksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan berkembangnya pneumonia bakterial.
g.        Pemeriksaan serologi    : titer virus atu legionella, aglutinin dingin.
h.        LED     : meningkat
i.          Pemeriksaan fungsi paru : volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps alveolar); tekanan jalan nafas mungkin meningkat dan komplain menurun, hipoksemia.
j.          Elektrolit           : natrium dan klorida mungkin rendah
k.        Bilirubin            : mungkin meningkat
l.          Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka   :menyatakan intranuklear tipikal dan keterlibatan sitoplasmik(CMV) (Doenges, 1999)
2.1.8    Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang sesuai dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya disertai pemeriksaan penunjang. Pada bronkopneumonia, bercak-bercak infiltrat didapati pada satu atau beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai. Pada bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada dalam batas yang normal. Kadar hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun(1,2).
Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi, karena pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat dilakukan kuman penyebab tidak selalu dapat ditemukan. Oleh karena itu WHO mengajukan pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana. Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan berdasarkan :
·           Bronkopneumonia sangat berat :
Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum,maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
·           Bronkopneumonia berat :
Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup minum,maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.

·           Bronkopneumonia :
Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat :
> 60 x/menit pada anak usia < 2 bulan
> 50 x/menit pada anak usia 2 bulan – 1 tahun
> 40 x/menit pada anak usia 1 - 5 tahun.
·           Bukan bronkopenumonia :
Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas, tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotika. Diagnosis pasti dilakukan dengan identifikasi kuman penyebab:
1.      Kultur sputum atau bilasan cairan lambung
2.      Kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus
3.      Deteksi antigen bakteri

2.1.9    Diagnosa Banding
·           Bronkiolitis
·           Aspirasi pneumonia
·           Tb paru primer

2.1.10  Penatalaksanaan
Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tetapi hal ini tidak dapat selalu dilakukan dan memakan waktu yang cukup lama, maka dalam praktek diberikan pengobatan polifarmasi maka yang biasanya diberikan:
a.       Penisilin 50.000 U/kgBB/hari,ditambah dengan kloramfenikol 50-70 mg/kgBB/hari atau diberikan antibiotik yang mempunyai spektrum luas seperti ampisilin. Pengobatan ini diteruskan sampai bebas demam 4-5 hari.
b.      Pemberian oksigen dan cairan intravena, biasanya diperlukan campuran glukose 5% dan Nacl 0.9% dalam perbandingan 3:1 ditambah larutan KCL 10 mEq/500 ml/botol infus.
c.       Karena sebagian besar pasien jatuh kedalam asidosis metabolik akibat kurang makan dapat diberikan koreksi sesuai denagn hasil analisa gas darah arteri.
d.      Pasien bronkopnemonia ringan tidak usah dirawat dirumah sakit.


Penatalaksanaan keperawatan:
Seringkali pasien pneumonia yang dirawat di rumah sakit datang sudah dalam keadaan payah, sangat dispnea, pernapasan cuping hidung, sianosis, dan gelisah. Masalah yang perlu diperhatikan ialah:
a.         Menjaga kelancaran pernafasan.
b.        Kebutuhan istirahat.
c.         Kebutuhan nutrisi dan cairan.
d.        Mengontrol suhu tubuh.
e.         Mencegah komplikasi/gangguan rasa aman dan nyaman.
f.         Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.

2.1.11 Komplikasi
·           Otitis media
·           Bronkiektase
·           Abses paru
·           Empiema

2.1.12 Prognosis
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.
2.1.13 Pencegahan
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti : cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur ,menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dll.
Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain:
1.      Vaksinasi Pneumokokus
2.      Vaksinasi H. influenza
3.      Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah
4.      Vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit.

2. 2    Asuhan Keperawatan
1.      Data focus
a.       Data Subyektif
Anak dikeluhkan rewel, tidak mau makan, sesak nafas, terdengar suara grek-grek, orang tua menyatakan kurang paham tentang penyakit yang diderita anaknya , anak mencret. 
b.      Data Obyektif
Pernafasan cepat dan dangkal , pernafasan cuping hidung, cianosis, batuk berdahak sputum purulen, penggunaan otot Bantu nafas, bunyi nafas bronchovesikuler, ronchi, respirasi meningkat, peningkatan suhu tubuh,penurunan nafsu makan, muntah malaise, penurunan berat badan dan lain-lain.
2.      Pengkajian
a.       Riwayat kesehatan
1)       Adanya riwayat infeksi saluran pernapasan sebelumnya : batuk, pilek, demam.
2)       Anorexia, sukar menelan, mual dan muntah.
3)       Riwayat penyakit yang berhubungan dengan imunitas seperti malnutrisi.
4)       Anggota keluarga lain yang mengalami sakit saluran pernapasan
5)       Batuk produktif, pernafasan cuping hidung, pernapasan cepat dan dangkal, gelisah, sianosis
b.      Pemeriksaan fisik
1)       Demam, takipnea, sianosis, pernapasan cuping hidung
2)       Auskultasi paru ronchi basah
3)       Laboratorium leukositosis, LED meningkat atau normal
4)       Rontgent dada abnormal (bercak, konsolidasi yang tersebar pada kedua paru)

c.       Factor fsikologis / perkembangan memahami tindakan
1)       Usia tingkat perkembangan
2)       Toleransi / kemampuan memahami tindakan
3)       Koping
4)       Pengalaman terpisah dari keluarga / orang tua
5)       Pengalaman infeksi saluran pernafasan sebelumnya
d.      Pengetahuan keluarga / orang tua
1)       Tingkat pengetahuan keluarga tentang penyakit saluran pernapasan
2)       Pengalaman keluarga tentang penyakit saluran pernafasan
3)       Kesiapan / kemauan keluarga untuk belajar merawat anaknya
e.       Aktivitas / istirahat
Gejala     : Kelemahan, kelelahan, insomnia
Tanda      : Letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas
f.       Sirkulasi
Gejala     : Riwayat gagal jantung kronis
Tanda      : Takikardi, penampilan keperanan atau pucat
g.      Integritas Ego
Gejala     : banyak stressor, masalah finansial
h.      Makanan / Cairan
Gejala     :  kehilangan nafsu makan, mual / muntah, riwayat DM
Tanda      : distensi abdomen, hiperaktif bunyi usus, kulit kering dengan turgor buruk, penampilan malnutrusi
i.        Neurosensori
Gejala     : sakit kepala dengan frontal
Tanda      : perubahan mental
j.        Nyeri / Kenyamanan
Gejala     :  sakit kepala nyeri dada meningkat dan batuk myalgia, atralgia
k.      Pernafasan
Gejala             :    riwayat PPOM, merokok sigaret, takipnea, dispnea, pernafasan dangkal, penggunaan otot aksesori, pelebaran nasal
Tanda              :    sputum ; merah muda, berkarat atau purulen Perkusi ; pekak diatas area yang konsolidasi, gesekan friksi  pleural
Bunyi nafas    :    menurun atau tak ada di atas area yang terlibat atau nafas Bronkial
Framitus          :    taktil dan vokal meningkat dengan konsolidasi
Warna             :    pucat atau sianosis bibir / kuku
l.        Keamanan
Gejala     :  riwayat gangguan sistem imun, demam
Tanda      :  berkeringat, menggigil berulang, gemetar, kemerahan, mungkin pada kasus rubeda / varisela
m.    Penyuluhan
Gejala     :   riwayat mengalami pembedahan, penggunaan alkohol kronis 
3.      Diagnosa keperawatan dan intervensi
1)          Bersihan jalan nafas tidak efektif
Ø  Dapat dihubungkan dengan :
·         Inflamasi trakeobronkial, pembentukan oedema, peningkatan produksi sputum
·         Nyeri pleuritik
·         Penurunan energi, kelemahan
Ø  Kemungkinan dibuktikan dengan :
·         Perubahan frekuensi kedalaman pernafasan
·         Bunyi nafas tak normal, penggunaan otot aksesori
·         Dispnea, sianosis
·         Bentuk efektif / tidak efektif dengan / tanpa produksi sputum
Ø  Kriteria Hasil :
·         Menunjukkan perilaku mencapai kebersihan jalan nafas
·         Menunjukkan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih, tak ada dispnea atau sianosis
Ø  Intervensi :
Mandiri
·         Kali frekuensi / kedalaman pernafasan dan gerakan dada
·         Auskultasi paru catat area penurunan / tak ada aliran udara dan bunyi nafas tambahan (krakles, mengi)
·         Bantu pasien untuk batuk efektif dan nafas dalam
·         Penghisapan sesuai indikasi
·         Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari
Ø  Kolaborasi
·         Bantu mengawasi efek pengobatan nebulizer dan fisioterapi lain
·         Berikan obat sesuai indikasi : mukolitik, ekspetoran, bronkodilator, analgesik
·         Berikan cairan tambahan
·         Awasi seri sinar X dada, GDA, nadi oksimetri
·         Bantu bronkoskopi / torakosintesis bila diindikasikan
2)          Kerusakan pertukaran gas dapat dihubungkan dengan
·         Perubahan membran alveolar – kapiler (efek inflamasi)
·         Gangguan kapasitas oksigen darah
·         Kemungkinan dibuktikan oleh :
v  Dispnea, sianosis
v  Takikardi
v  Gelisah / perubahan mental
v  Hipoksia
·         Kriteria Hasil :
v  Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang normal dan tak ada gejala distress pernafasan
v  Berpartisipasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigen
·         Intervensi :
Mandiri
v  Kaji frekuensi, kedalaman dan kemudahan bernafas
v  Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku
v  Kaji status mental
v  Awasi status jantung / irama
v  Awasi suhu tubuh, sesui indikasi. Bantu tindakan kenyamanan untuk menurunkan demam dan menggigil
v  Pertahankan istirahat tidur
v  Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi, nafas dalam dan batuk efekti
v  Kaji tingkat ansietas. Dorong menyatakan masalah / perasaan.
·         Kolaborasi
v  Berikan terapi oksigen dengan benar
v  Awasi GDA
3)          Pola nafas tidak efektif
Dapat dihubungkan dengan :
v  Proses inflamasi
v  Penurunan complience paru
v  Nyeri
v  Kemungkinan dibuktikan oleh :
·         Dispnea, takipnea
·         Penggunaan otot aksesori
·         Perubahan kedalaman nafas
·         GDA abnormal
v  Kriteria Hasil :
·         Menunjukkan pola pernafasan normal / efektif dengan GDA dalam rentang normal
v  Intervensi :
Mandiri
      • Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada
      • Auskultasi bunyi nafas
      • Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi
      • Observasi pola batuk dan karakter sekret
      • Dorong / bantu pasien dalam nafas dalam dan latihan batuk efektif
Kolaborasi
·         Berikan Oksigen tambahan
·         Awasi GDA
4)          Peningkatan suhu tubuh
Dapat dihubungkan  : proses infeksi
Kemungkinan dibuktikan oleh :
§  Demam, penampilan kemerahan
§  Menggigil, takikandi
§  Kriteria Hasil :
§  Pasien tidak memperlihatkan tanda peningkatan suhu tubuh
§  Tidak menggigil
§  Nadi normal
Intervensi :
Mandiri
·         Obeservasi suhu tubuh (4 jam)
·         Pantau warna kulit
·         Lakukan tindakan pendinginan sesuai kebutuhan
     
Kolaborasi
Berikan obat sesuai indikasi : antiseptik
Awasi kultur darah dan kultur sputum, pantau hasilnya setiap hari
5)          Resiko tinggi penyebaran infeksi
Dapat dihubungkan dengan :
v  Ketidakadekuatan pertahanan utama
v  Tidak adekuat pertahanan sekunder (adanya infeksi, penekanan imun)
Kemungkinan dibuktikan oleh :
v  Tidak dapat diterapkan tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual
Kriteria Hasil :
v  Mencapai waktu perbaikan infeksi berulang tanpa komplikasi
v  Mengidentifikasikan intervensi untuk mencegah / menurunkan resiko infeksi
Intervensi :
Mandiri
§  Pantau TTV
§  Anjurkan klien memperhatikan pengeluaran sekret dan melaporkan perubahan warna jumlah dan bau sekret
§  Dorong teknik mencuci tangan dengan baik
§  Ubah posisi dengan sering
§  Batasi pengunjung sesuai indikasi
§  Lakukan isolasi pencegahan sesuai individu
§  Dorong keseimbangan istirahat adekuat dengan aktivitas sedang.
Kolaborasi
v  Berikan antimikrobal sesuai indikasi
6)          Intoleran aktivitas
Dapat dihubungkan dengan
v  Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
v  Kelemahan, kelelahan
Kemungkinan dibuktikan dengan :
v  Laporan verbal kelemahan, kelelahan dan keletihan
v  Dispnea, takipnea
v  Takikandi
v  Pucat / sianosis

Kriteria Hasil :
·         Melaporkan / menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan tak adanya dispnea, kelemahan berlebihan dan TTV dalam rentang normal
Intervensi :
Mandiri
v  Evaluasi respon klien terhadap aktivitas
v  Berikan lingkungan terang dan batasi pengunjung
v  Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat
v  Bantu pasien memilih posisi yang nyaman untuk istirahat / tidur
v  Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan
7)          Nyeri
Dapat dihubungkan dengan :
v  Inflamasi parenkim paru
v  Reaksi seluler terhadap sirkulasi toksin
v  Batuk menetap
Kemungkinan dibuktikan dengan :
v  Nyeri dada
v  Sakit kepala, nyeri sendi
v  Melindungi area yang sakit
v  Perilaku distraksi, gelisah
Kriteria Hasil :
v  Menyebabkan nyeri hilang / terkontrol
v  Menunjukkan rileks, istirahat / tidur dan peningkatan aktivitas dengan cepat
Intervensi :
Mandiri
v  Tentukan karakteristik nyeri
v  Pantau TTV
v  Ajarkan teknik relaksasi
v  Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode batuk.
8)          Resti nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Dapat dihubungkan dengan :
·         Peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi
·         Anoreksia distensi abdomen
Kriteria Hasil :
·         Menunjukkan peningkatan nafsu makan
·         Berat badan stabil atau meningkat
Intervensi :
Mandiri
·         Indentifikasi faktor yang menimbulkan mual atau muntah
·         Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin
·         Auskultasi bunyi usus
·         Berikan makan porsi kecil dan sering
·         Evaluasi status nutrisi

9)          Resti kekurangan volume cairan
Faktor resiko :
·         Kehilangan cairan berlebihan (demam, berkeringan banyak, hiperventilasi, muntah)
Kriteria Hasil :
·         Balance cairan seimbang
·         Membran mukosa lembab, turgor normal, pengisian kapiler cepat
Intervensi :
Mandiri
·         Kaji perubahan TTV
·         Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa
·         Catat laporan mual / muntah
·         Pantau masukan dan keluaran, catat warna, karakter urine
·         Hitung keseimbangan cairan
·         Asupan cairan minimal 2500 / hari
Kolaborasi
·         Berikan obat sesuai indikasi ; antipirotik, antiametik
·         Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluan
10)      Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan tindakan
Dapat dihubungkan dengan :
§  Kurang terpajan informasi
§  Kurang mengingat
§  Kesalahan interpretasi
§  Kemungkinan dibuktikan oleh :
§  Permintaan informasi
§  Pernyataan kesalahan konsep
§  Kesalahan mengulang
Kriteria Hasil :
·         Menyatakan permahaman kondisi proses penyakit dan pengobatan
·         Melakukan perubahan pola hidup
Intervensi
Mandiri
·         Kaji fungsi normal paru
·         Diskusikan aspek ketidakmampuan dari penyakit, lamanya penyembuhan dan harapan kesembuhan
·         Berikan dalam bentuk tertulis dan verbal
·         Tekankan pentingnya melanjutkan batuk efektif
·         Tekankan perlunya melanjutkan terapi antibiotik selama periode yang dianjurkan.
2.3     Konsep Dasar Farmakologi
2.3.1    Pengertian Farmakologi
a.       Farmakologi dalam arti luas, adalah ilmu yang mempelajari sejarah, asal usul obat, sifat fisika dan kimia, cara mencampur dan membuat obat, efek terhadap fungsi biokimia dan faal, cara kerja, absorbsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi, penggunaan dalam klinik dan efek toksiknya.
b.      Farmakologi dalam arti sempit, adalah ilmu yang mempelajari penggunaan obat untuk diagnosis, pencegahan dan penyembuhan penyakit.
2.3.2    Pengetahuan Dasar Tentang Obat
a.       Pengertian
·         Obat : ialah semua zat, baik kimiawi, hewani maupun nabati yang dalam dosis layak dapat menyembuhkan, meringankan atau mencegah penyakit maupun gejala-gejalanya. Zat tersebut berbentuk padat, cair, atau gas dan diberikan kepada pasien dengan maksud tertentu sesuai dengan guna obat tersebut.
·         Indikasi : ialah petunjukyang diperoleh untuk menentukan cara pengobatan mana yang harus diikuti.
·         Kontra Indikasi : ialah petunjuk yang menyatakan adanya bahaya atau pengaruh apabila obat diberikan.
·         Mekanisme  kerja obat : ialah cara kerja obat atau proses kerja obat di dalam tubuh.
·         Dosis obat : ialah ukuran tertentu dari suatu obat yang disesuaikan dengan diagnose dan keadaan pasien.
·         Efek samping : ialah efek atau pengaruh obat yang tidak ada hubungannya dengan tujuan utama pemberian obat.
·         Toxic effect : ialah efek racun dari suatu obat terhadap tubuh.
·         Resep : ialah perminttan tertulis dari dokter kepeda Apoteker atau asisten Apoteker, supaya menyiapkan obat dan menyerahkannya kepada pasien.
b.      Kegunaan obat
·         Untuk menyembuhkan penyakit
·         Untuk mencegah penyakit
·         Untuk mengurangi rasa sakit
·         Untuk menghambat perkembangan penyakit
·         Untuk menambah kekuatan
·         Untuk menambah nafsu makan
c.       Mekanisme kerja obat
Beberapa mekanisme kerja obat, dapat digolongkan sebagai berikut:
·         Secara fisika
·         Secara kimiawi
·         Melalui proses metabolisme
·         Secara kompetisi (saingan)
2.3.3    Peran Perawat Dalam Pengobatan
1.      Melaksanakan pemberian obat kepada pasien sesuai program terapi dengan menerapkan prinsip minimal 4 tepat 1 waspada :
a.       Tepat Penderita
Dalam memberikan obat, harus memastikan dan memeriksa identitas klien pada setiap kali pemberian obat. Apakah obat yang diberikan sesuai dengan penderitanya.
b.      Tepat Obat
Sebelum memberikan obat pada klien, perlu membaca kembali label obat serta interaksi obat dan memastikan kembali bahwa klien menerima obat yang telah diresepkan sesuai dengan penyakit yang derita.
Dalam memberikan obat pada klien, sebaiknya mengecek obat pada saat menerima resep, akan memberikan pada klien dan pada saat pemberian pada klien agar tidak terjadi kesalahan memberikan obat.
c.       Tepat Dosis
Memastikan dan memeriksa dosis tertentu yang telah diresepkan dokter untuk klien dengan penyakit tertentu agar tidak terjadi over dosis atau under dosis yang dapat menimbulkan efek yang tidak dingin  (efek skunder)
d.      Tepat Waktu
Memberikan obat yang telah diresepkan pada waktu-waktu tertentu serta memperhatikan kapan obat tersebut diberikan, sebelum makan atau sesudah makan. Misal: obat x diberikan dengan dosis harian 2 x sehari sebelum makan
e.       Waspada
Waspada terhadap efek samping yang ditimbulkan obat.
2.      Mengelola penempatan, penyimpanan, pemeliharaan, dan administrasi obat di ruangan agar selalu tersedia, siap pakai, tidak rusak, mudah ditemukan dan tidak kadaluwarsa.
3.      Memberikan penyuluhan berkaitan dengan obat yang digunakan, meliputi khasiat obat, makanan yang boleh, dan tidak boleh selama terapi, ESO obat dan cara mengatasi, kepatuhan obat, dampak ketidakpatuhan, penghentian obat.
4.      Mengamati dan mencatat efek samping, efek terapi, efek toksis dari pengalaman klinis dan empiris beberapa pasien selama menggunakan obat untuk bahan masukan dan laporan.

Kompetensi perawat dalam pemberian obat
No
Kompetensi
Keterampilan
1
Mengkaji keadaan umum pasien kaitannya dalam penggunaan obat
a.       Memkaji pasien riwayat pengobatan dan alergi.
b.      Mengkaji kondisi umum pasien berkaitan dengan efektifitas farmakokinetik (absorbs, distribusi, metabolism dan ekskresi).
c.       Mengkaji diet yang berkaitan dengan interaksi farmakokinetik obat.
d.      Mengkaji tanggapan, kerjasama dan penilaian pasien terhadap pemberian obat.
e.       Mengkaji tingkat pengetahuan pasien terhadap tindakan pengobatan yang diberikan.
2
Merencanakan pemberian obat kepada pasien untuk mencapai tingkat efektivitas maksimal
a.       Merencanakan diet pasien sehubungan dengan obat yang diberikan.
b.      Menetapkan waktu pemberian obat untuk memperoleh efektifitas terapi.
c.       Memprediksi efek, terapi toksisitas dan ESO serta rencana pengawasan dan penanggulangannya.
d.      Merencanakan penyuluhan kesehatan yang diperlukan.
3
Melaksanakan pemberian obat sesuai progam terapi
a.       Identifikasi progam terapi menuju 5 benar.
b.      Memberikan obat.
1.      Peroral (ditelan).
2.      Sub lingual (bawah lidah).
3.      Personde (melalui sonde).
4.      Memberikan obat parenteral.
·         Intra muskuler
·         Intra vena
·         Subkutan
·         Intrakutan
5.      Perrektal (supositoria)
6.      Inhalasi
7.      Efek lokal
·         Perkonjungtival.
·         Pernasal.
·         Tetes telinga.
·         Pada luka (antiseptik).
·          Topical (dioleskan kulit).
c.       Melaksanakan penyuluhan obat pada pasien pada saat terapi dan menjelang pulang, meliputi:
·         ESO yang mungkin timbul.
·         Penghentian obat.
·         Kepatuhan obat, kaitannya dengan penyembuhan.
·         Efek lain yang mungkin muncul dan cara mengatasi.



2.4     Terapi Obat Dan Cairan
2.4.1         Ampisilin        
·         Nama & Struktur  Kimia

:
Asam (2S,5R,6R)-6-[(R)-2-amino-2-fenilacetamido]-3-3-dimetil-7-okso- 4-tia-1-azabisiklo[3,2,0]-heptana-2-karboksilat [69-53-4] (Trihidrat [7177-48-2]). C16H19N3O4S
·         Sifat Fisikokimia
:
Ampisilin berbentuk anhidrat atau trihidrat mengandung tidak kurang dari 900 µg tiap milligram C16H19N3O4S dihitung terhadap zat anhidrat. Secara komersial, sediaan ampisilin tersedia dalam bentuk trihidrat untuk sediaan oral dan garam natrium untuk sediaan injeksi. Potensi ampisilin trihidrat dan natrium penisilin dihitung berdasarkan basis anhidrous. Ampisilin trihidrat berwarna putih, praktis tidak berbau , serbuk kristal, dan larut dalam air. Ampisilin trihidrat mempunyai kelarutan dalam air sekitar 6 mg/mL pada suhu 200C dan 10 mg/mL pada suhu 40 0C. Ampisilin sodium berwarna hampir putih, praktis tidak berbau, serbuk kristal, serbuk hidroskopis, sangat larut dalam air, mengandung 0.9% natrium klorida. Pelarutan natrium ampicilin dengan larutan yang sesuai, maka 10 mg ampicilin per mL memiliki pH 8-10. Jika dilarutkan secara langsung ampisillin trihidrat oral suspensi memiliki pH antara 5-7.5
·         Keterangan
:
Ampisilin adalah aminopenisilin. Perbedaan struktur ampisilin dengan penicillin G hanya terletak pada posis gugus amino pada alpha cincin benzena yang terletak pada R dalam inti penisilin.

Golongan/Kelas Terapi
Anti Infeksi
Nama Dagang
- Actesin inj
- Ambripen
- Amcillin
- Ampi
- Arcocillin
- Bannsipen
- Bimapen
- Binotal
- Biopenam
- Broadapen
- Cinam
- Corsacillin
- Dancillin
- Decapen
- Erphacillin
- Etabiotic
- Etrapen
- Hufam
- Kalpicillin
- Kemocil
- Lactapen
- Medipen
- Megapen
- Metacillin
- Mycill
- Opicillin
- Pampicillin
- Parpicillin
- Penbiotic
- Penbritin
- Pincyn
- Polypen
- Primacillin
- Ronexol
- Sanpicillin
- Standacillin
- Unasyn
- Varicillin
- Viccillin
- Xepacillin
- Akrotalin



Indikasi
Pengobatan infeksi yang peka (non-betalaktamase-producting organisme); bakteri yang peka yang disebabkan oleh streptococci, pneumococci nonpenicillinase-producting staphilocochi, listeria, meningococci; turunan H.Influenzae, salmonella, Shigella, E.coli, Enterobacter, dan Klebsiella .Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
DOSIS ANAK  :
Infeksi ringan – sedang: I.M., I.V.: 100 -150 mg/kg/hari dalam dosis terbagi setiap 6 jam. (maksimal:2-4 mg/hari). Oral: 50-100 mg/kg/hari dalam dosis terbagi setiap 6 jam (maksimal: 2-4 g/hari)
Infeksi berat/mengitis: I.M.,I,V: 200-400 mg/kg/hari dalam dosis terbagi setiap 6 jam (maksimal; 6-12 g/hari).
Endocarditis profilaxis: Gigi, mulut, saluran pernafasan atau esophagus: 50 mg/kg digunakan 30 menit sebelum penerapan protokol, Saluran kemih, GI: pasien resiko tinggi: 50 mg/kg (maksimal 2 g) digunakan 30 menit sebelum penerapan protokol. Pasien risiko tinggi: 50 mg/kg digunakan 30 menit sebelum prosedur operasi.
DOSIS DEWASA
Dosis lazim:
Oral : 250 – 500 mg tiap 6 jam.IM.IV: 50-100 mg/kg/hari setiap 6 jam.
Sepsis/meningitis: IM.IV: 150-250 mg/kg/24 jam dosis terbagi setiap 3-4 jam  (rentang:6-12g/hari).
PENYESUAIAN DOSIS.
ClCr >50 mL/menit: diberikan tiap 6 jam. ClCr 10-50 mL/menit diberikan setiap 6-12 jam. ClCr <10 mL/menit diberikan setiap 12-24 jam.
Lama pemberian:
Lama pemberian ampicillin tergantung pada tipe dan tingkat kegawatan serta tergantung juga pada respon klinis dan  bakteri penginfeksinya. Seperti contoh umum jika ampisillin digunakan untuk penanganan infeksi gonore maka ampicillin diberikan tidak kurang dari 48 – 72 jam setelah pasien mengalami gejala infeksi maupun sesuai temuan hasil uji laboratorium. Untuk infeksi persisten, kemungkinan diberikan untuk beberapa minggu.
CARA PEMBERIAN:
Disesuaikan dengan jeda waktu yang telah ditetapkan untuk mempertahankan kadar obat dalam plasma. Diberikan dalam keadaan perut kosong untuk memaksimalkan absorpsi (1 jam sebelum makan dan 2 jam setelah makan).
Farmakologi
Absorbsi: oral: 50%.
Distribusi: empedu, dan plasma jaringan; menembus ke cairan serebrospinal terjadi hanya ketika terjadi inflamasi meningitis.
Ikatan protein: 15 – 25%
T½ eliminasi:
Anak – anak dan dewasa: 1-1.8 jam.
Anuria/ARF:7-20 jam.
T max: Oral: 1-2 jam
Eksresi: urin (90% bentuk utuh) dalam 24 jam.
Dialisis: Moderat diálisis melalui Hemo atau peritonial dialisis: 20-50%
Stabilitas Penyimpanan
Ampisilin kapsul, serbuk oral suspensi disimpan pada wadah kedap dengan suhu antara 15-30°C, setelah mengalami pencampuran, ampisilin trihidrat disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu antara 2-8°C dan akan bertahan selama 14 hari, tapi jika disimpan dalam suhu ruangan maka akan bertahan selama 7 hari. Ampisilin injeksi, setelah mengalami pelarutan sebaiknaya digunakan kurang dari 1 jam setelah pencampuran. Stabilitas ampisilin injeksi setelah dilarutkan tergantung kenaikan konsentrasinya, ampisillin peka sekali dengan cairan yang mengandung dextrose, karena akan mengakibatkan efek katalitik dan menghidrolisis obat.
Kontraindikasi
Kontraindikasi untuk pasien yang hipersensitif terhadap amoksisilin, penisilin, atau komponen lain dalam sediaan.
Efek Samping
SSP : Demam, penisilin encephalitis, kejang.
Kulit : Erythema multifom, rash, urticaria.
GI : Lidah hitam berambut, diare, enterochollitis, glossitis, mual, pseudomembranouscollitis, sakit mulut dan lidah, stomatitis, muntah.
Hematologi : Agranulositosis, anemia, hemolitik anemia, eosinophilia, leukopenia, trombocytopenia purpura.
Hepatik : AST meningkat.
Renal : Interstisisal nephritin (jarang)
Respiratory : Laringuela stidor
Miscellaneous : Anaphilaxis.
Interaksi
 - Dengan Obat Lain :
Meningkatkan efek toksik:
1. Disulfiran dan probenezid kemungkinan meningkatkan kadar ampisilin.
2. Warfarin kemungkinan dapat meningkatkan kadar ampisilin
3. Secara teori, jika diberikan dengan allopurinol dapat meningkatkan efek ruam.
Menurunkan efek:
Dicurigai ampisilin juga dapat menurunkan efek obat kontrasepsi oral.
Dengan Makanan : Makanan dapat menurunkan tingkat absorbsi ampisillin, sehingga           kemungkinan akan menurunkan kadar ampisillin.
Pengaruh
Terhadap Kehamilan : Data keamanan penggunaan pada ibu hamil belum ada sehingga CDC (center for disease controle and prevention) memasukannya pada  Kelas faktor risiko B.
Terhadap Ibu Menyususi : CDC mengklasikasikan keamananya kategori B Karena amoksisilin terdistribusi kedalam ASI (air susu ibu) maka dikhawatirkan amoksisilin dapat menyebabkan respon hipersensitif untuk bayi, sehingga monitoring perlu dilakukan selama menggunakan obat ini pada ibu menyusui.
Terhadap Anak-anak : Data tentang keamanan masih establish
Terhadap Hasil Laboratorium : Berpengaruh terhadap hasil pengukuran : Hematologi dan hepar.
Parameter Monitoring
Pengamatan rutin terhadap : Fungsi ginjal (ClCr), Fungsi Hepar (SGPT, SGOT), Hematologi. (Hb), Indikator infeksi.(Suhu badan, kultur ).
Bentuk Sediaan
Kapsul, Serbuk Kering Suspensi Oral, Serbuk Injeksi
Peringatan
Pada pasien yang mengalami gagal ginjal, perlu penyesuaian dosis. Tingkat kejadian ruam akibat penggunaan ampisilin pada anak – anak  sebanyak 5 – 10% kebanyakan muncul pada 7-14 hari setelah penggunaan obat.
Kasus Temuan Dalam Khusus
Informasi Pasien
Untuk menghindari timbulnya resistensi, maka sebaiknya amoksisilin digunakan dalam dosis dan rentang waktu yang telah ditetapkan. Obat digunakan dalam keadaan perut kosong (1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan). Amati jika ada timbul gejala ESO obat, seperti mual, diare atau respon hipersensitivitas. Jika masih belum memahami tentang penggunaan obat, harap menghubungi apoteker. Jika keadaan klinis belum ada perubahan setelah menggunakan obat, maka harap menghubungi dokter.
Mekanisme Aksi                           
Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mengikat satu atau lebih pada ikatan penisilin-protein (PBPs – Protein binding penisilin’s), sehingga menyebabkan penghambatan pada tahapan akhir transpeptidase sintesis peptidoglikan dalam dinding sel bakteri, akibatnya biosintesis dinding sel terhambat dan sel bakteri menjadi pecah (lisis). Monitoring Penggunaan Obat
Lamanya penggunaan obat : Menilai kondisi pasien sejak awal hingga akhir penggunaan obat. Mengamati kemungkinan adanya efek anafilaksis pada pemberian dosis awal.

GENTAMISIN 2.4.2



Golongan       : Aminoglikosida
Komposisi      : Gentamicin / Gentamisin sulfat
Indikasi          : Infeksi Gram negatif (Pseudomonas, Proteus, Serratia) dan Gram positif  (Staphylococcus),  infeksi tulang, infeksi saluran nafas,  infeksi kulit dan jaringan lunak, infeksi saluran urin, abdomen, endokarditis dan septikemia , penggunaan topical, dan profilaksis untuk bakteri endokarditis dan tindakan bedah.
Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
Dosis diberikan secara individu karena indek terapinya relatif sempit
Dosis umum :
Bayi dan anak < 5 tahun : 2,5 mg/kg BB setiap 8 jam secara i.v. atau i.m.            Anak > 5 tahun : 2 - 2,5 mg/kg BB setiap 8 jam secara i.v. atau i.m.
Note : Usual dose yang lebih tinggi dan/atau frekuensi yang lebih tinggi (setiap 6 jam) yang diberikan pada kondisi klinik secara selektif ( cystic fibrosis) data serum level yang dibutuhkan
Anak dan dewasa :
Intratekal : 4 – 8 mg/hari
Optalmik :
Salep   : Dioleskan pada mata 2 – 3 kali sehari sampai setiap 3 – 4 kali
Tetes mata : Teteskan pada mata yang sakit 1 – 2 tetes setiap 2 – 4 jam, naikan 2tetes setiap jam untuk infeksi parah
Topikal :
Salep : Salep dioleskan pada kulit yang sakit  3 – 4 kali sehari
Dewasa : Diberikan secara i. v. atau i. m.
Konfensional : 1 – 2,5 mg/kg BB/ dosis setiap 8 – 12 jam untuk mendapatkan kadar puncak secara cepat pada terapi, dosis inisial yang lebih tinggi dapat diberikan dengan pertimbangan yang cermat untuk pasien jika cairan ekstraseluler meningkat (udem, syok
Dosis tunggal : 4 – 7 mg/kg BB/dosis tunggal/hari; beberapa klinisi memberikan rekomendasi dosis tersebut untuk pasien yang fungsi ginjalnya normal.
Indikasi spesifik :
Bruselosis : 240 mg/hari i.m.  atu 5 mg/kg BB/hari secara i. v. selama 7 hari. Dapat juga dikombinasi dengan Doxyciclin
Kolangitis : 4 – 6 mg/kg BB/hari dikombinasi dengan Ampisilin
Divertikulitis (komplikasi) : 1,5 – 2 mg/kg BB setiap 8 jam  (kombinasi dengan Ampisilin dan Metronidazol)
Profilaksis endokarditis : Gigi, mulut, saluran nafas bagian, atas, saluran pencernaan, saluran urin 1,5 mg/kg BB dikombinasi dengan Ampisilin  50 mg/kg BB 30 menit sebelum operasi
Endokarditis atau sejenisnya (untuk infeksi Gram Positif) : 1 mg/kg BB setiap 8 jam (kombinasi dengan Ampisilin)
Meningitis Listeria : 5 – 7 mg/kg BB/hari dikombinasi dengan Penicillin selama 1 minggu
Meningitis Neonatal, 0 – 7 hari :
Neonatal dengan BB < 2000 gr : 2.5 mg/kg BB setiap 18 – 24 jam.
Neonatal dengan BB > 2000 gr : 2,5 mg/kg BB setiap 12 jam 
Meningitis Neonatal, 8 – 28 hari :
Neonatal dengan BB < 2000 gr : 2.5 mg/kg BB setiap 8 – 12 jam.
Neonatal dengan BB > 2000 gr : 2,5 mg/kg BB setiap 8 jam
Inflamasi pelvik :
Loading Dose : 2 mg/kg BB, selanjutnya 1,5 mg/kg BB setiap 8 jam
Alternate therapy : 4,5 mg/kg BB/hari
Plague (Yersinia pestis) : 5 mg/kg BB/hari diikuti dengan postexposture dengan Doksisiklin.
Pneumonia : 7 mg/kg BB/hari dikombinasi dengan antipseudomonas  beta laktam atau Carbapene
Tularemia : 5 mg/kg BB/hari  dibagi setiap 8 jam untuk 1 – 2 minggu
Infeksi saluran Urin :1,5 mg/kg BB/dosis setiap 8 jam
Interval Dosis pada penurunan fungsi ginjal
Dosis konvensional :
Klirens kreatinin >= 60 ml/menit : diberikan setiap 8 jam
Klirens kreatinin 40 – 60 ml/menit : diberikan setiap 12 jam
Klirens kreatinin 20 – 40 ml/menit : diberikan setiap 24 jam
Klirens kreatinin < 20  ml/menit : loading dose, kemudian monitor
Dosis tinggi untuk terapi : Interval diperpanjang ( mis. setiap 48 jam) pada pasien dengan gangguan ginjal yang moderat (klirens kreatinin  30 – 59 mL/menit) dan atau dasar  perhitungan pada serum level determination.
Hemodialisa :
Dilanjutkan dengan dialisa : 30% lanjutan dari Aminoglikosida dilaksanakan selama 4 jam hemodialisa.; pemberian dosis selama hemodialisa dan follow level.
Terapi lanjutan dengan Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) : Pemberian melalui cairan CAPD :
Infeksi Gram–negative : 4 – 8 mg/L(4 – 8 mc/L) dari cairan CAPD
Infeksi Gram–positif (mis. siergis) : 3 – 4 mg/L (mcg/L) dari cairan CAPD
Pemberian injeksi dengan rute i. m. Atau i. v.  Selama CAPD.
Dosis untuk  Clcr <10 mL/menit dan follow level
Lanjutan melalui kontinius arterovenous atau venovenous hemofiltration :
Dosis untuk Clcr 10 - 40 mL/menit dan follow level
Penyesuaian dosis pada penyakit hepar : Monitor konsentrasi dalam plasma
Cara pemberian :
1Injeksi i. m.atau i.v.
Tetes mata
Lama penggunaan :
Sesuai dengan aturan pada pemberian dosis
Farmakologi
Didistribusikan melalui plesenta
Volume distribusi meningkat pada odem, asites dan menurun pada dehidrasi.
Neonatus : 0,4- 0,6 per kg BB,
Anak 0,3 -0,35 /kg BB.
Dewasa 0,2-0,3 /kg BB
Protein binding : < 30 %
Waktu paruh eliminasi :
Infant : umur < 1 minggu  3-11,5 jam. 1 minggu -6 bulan 3-3,5 jam.
Dewasa ; 1,5-3 jam.
Pasien dengan gangguan ginjal 36-70 jam
Kadar puncak serum : i.m 30-90 menit; i.v. 30 menit setelah pemberian dengan infus
Ekskresi : Urin
Stabilitas Penyimpanan
Stabilitas     :
Stabil selama 30 hari setelah kemasan ditusuk
Stabil selama 24 pada suhu kamar dalam campuran NaCl fisiologis atau Dextrosa 5%
Penyimpanan :
Tidak berwarna sampai kuning muda pada penyimpanan  pada suhu 2% - 30%
Jangan disimpan di refrigerator
Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap Gentamisin dan Aminoglikosida lain
Efek Samping
> 10%
Susunan syaraf pusat : Neurotosisitas (vertigo, ataxia)
Neuromuskuler dan skeletal : Gait instability
Otic : Ototoksisitas (auditory), Ototoksisitas (vestibular)
Ginjal : Nefrotoksik ( meningkatkan klirens kreatinin) 1% – 10%
Cardiovaskuler : Edeme
Kulit : rash, gatal, kemerahan < 1%
Agranulositosis 
Reaksi alergi
Dyspnea
Granulocytopenia
Fotosensitif
Pseudomotor Cerebral
Trombositopeni

Interaksi
·         Dengan Obat Lain :  Penisilin, Sefalosporin, Amfoterisin B, Diuretik  dapat meningkatkan efek nefrotoksik, efek potensiasi dengan neuromuscular blocking agen
·         Dengan Makanan :  Harus dipertimbangkan terhadap diet makanan yang mengandung Calcium, magnesium , potassium 
Peringatan
Jangan digunakan pada pengobatan yang lama karena dapat berisiko toksik pemberian yang lama yaitu penurunan fungsi ginjal, miastenia gravis, hipokalsemia, kondisi dengan depresi neuromuskuler transmitens
Aminoglikosoda secara parenteral dapat menimbulkan nefrotoksisitas dan ototoksisitas dapat secara langsung secara proporsional dengan jumlah obat yang diberikan dan durasi pengobatan; tinnitus atau vertigo adalah indikasi dari vestibular injuri dan mengancam hilangnya pendengaran.


2.4.3    ULSIKUR
INDIKASI
Ulkus duodenum aktif, pencegahan ulkus duodenum kambuhan, ulkus lambung akut yang jinak, sindroma Zollinger-Ellison.
 PERHATIAN
Kerusakan ginjal, keganasan lambung, hamil, menyusui.
Interaksi obat :
Ø  meningkatkan kadar Lignokain, Fenitoin, Teofilin, Warfarin dalam darah.
Ø  mengurangi metabolisme hepatik dari antikoagulan tipe Warfarin, Fenitoin,
Ø  Lidokain, Teofilin.
EFEK SAMPING
Diare, pusing, mengantuk terus/ketagihan tidur, ruam kulit, sakit kepala yang bersifat reversibel, nyeri sendi, nyeri otot, keadaan kekacauan/kebingungan yang bersifat reversibel, ginekomastia ringan, impotensi yang bersifat reversibel, kebotakan, neutropenia/agranulositosis, trombositopenia, anemia aplastik, demam, nefritis interstisial, hepatitis, pankreatitis.
KEMASAN
Ampul 200 mg x 5 biji.
DOSIS
·         Injeksi intramuskular (IM) pada orang dewasa : 200 mg tanpa dilarutan disuntikkan tiap 4-6 jam.
·         Infus intravena (IV) : 200 mg dilarutkan dalam 100 ml injeksi Dekstrosa atau larutan IV lainnya diinfuskan selama 15-20 menit, diulangi tiap 4-6 jam.Maksimal : 2 gram/hari.
·         Injeksi IV : larutkan 200 mg dalam larutan injeksi NaCl sampai volume total 20 ml dan disuntikkan secara lambat paling sedikit selama 2 menit.
·         Ulangi tiap 4-6 jam. Pasien dengan gangguan ginjal : 200 mg tiap 12 jam.

DIPHENHIDRAMI  2.4.4
Ø  Indikasi :
·         Rhinitis alergika, rhinitis vasomotor
·         Konjungtivitis alergika yang disebabkan oleh alergen atau makanan
·         Urtikaria dan angioedema yang ringan tanpa komplikasi
·         Dermatografisme
·         Reaksi alergi terhadap darah atau plasma, dan reaksi anafilaksis, sebagai tambahan dari epinefrin dan pengobatan dasar, setelah gejala akut telah diatasi
·         Mabuk perjalanan
·         Parkinsonisme (termasuk gejala ekstrapiramidal yang diakibatkan obat-obatan) pada orang tua yang tidak dapat menerima obat yang lebih kuat, serta kelompok umur lainnya dengan gejala yang ringan, atau sebagai kombinasi dengan obat antikolinergik, sentral, atau bila terapi oral tidak memungkinkan atau dikontraindikasikan.
Ø  Dosis :
·         Oral :
-          Dewasa : 50 mg atau 20 mg, 3-4x sehari
-          Anak : 5 mg/kg/hari atau 150 mg/hari, sampai 300 mg/hari
·         Parenteral :
Untuk reaksi alergi :
·         Dewasa : 10-50 mg IM (dalam) atau IV (100 mg, bila dibutuhkan), sampai 400 mg/hari
·         Anak : 5 mg/kg/hari atau 150 mg/hari, sampai 300 mg/hari, IM (dalam) atau IV, terbagi dalam 4 dosis
Ø  Cara Pemberian dan Penyesuaian Dosis :
·         Untuk mabuk perjalanan, obat diberikan 30 menit sebelum perjalanan, diberikan sesudah makan, serta sebelum tidur.
Ø  Kontra Indikasi :
·         Hipersensitivitas : terhadap difenhidramin
·         Gejala saluran pernafasan bagian bawah, termasuk asma
·         Pengobatan bersama MAO-inhibitor : efek antikolinergik dari difenhidramin diperhebat adau diperlama.
Ø  Perhatian :
·         Mengantuk, gangguan koordinasi : pekerjaan yang memerlukan kewaspadaan dan ketelitian dapat terganggu : peringatkan penderita terhadap hal ini.
·         Penderita usia lanjut : pusing, mengantuk, dan hipotensi lebih sering terjadi pada penderita diatas umur 60 tahun.
·         Aktivitas “atropine-like”, antikolinergik : pakailah dengan hati-hati pada penderita dengan riwayat asma bronkial, peninggian tekanan intraokular, hipertiroidisme, penyakit kardiovaskuler atau hipertensi.
·         Penderita dengan resiko khusus : pakailah dengan hati-hati pada penderita glaukoma “narrowangel”, tukak lambung, obstruksi pilorodudenal, hipertrofi prostat atau obstruksi saluran kandung kencing.
Ø  Efek Samping :
·         Kardiovaskuler : Hipotensi, sakit kepala, palpitasi, takikardi, ekstrasistol.
·         Hematologi : anemia hemolitik, trombositopenia, agranulositosis.
·         SSP : mengantuk, pusing, gangguan koordinasi, keletihan, kebingungan, kecemasan, tremor, mudah tersinggung, insomnia, euphoria, parastesis, vertigo, tinnitus, labirintitis akut, histeri, neuritis, kejang.
·         Mata : gangguan penglihatan, diplopia.
·         Saluran pencernaan : sebah, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi.
·         Saluran kencing : sering kencing, sulit kencing, retensi urinal, gangguan menstruasi.
·         Saluran pernapasan : pengentalan sekresi bronkial, rasa berat di dada dan wheezing, pilek.u
·         Dermatologi : urtikaria, ruam kulit, fotosensitivitas.
·         Hipersensitivitas : syok anafilaktik.
·         Lain-lain : Mulut, hidung, tenggorokan kering, menggigil, banyak keringat.
Ø  Penggunaan bagi Anak-anak :
(lihat indikasi). Dikontraindikasikan bagi bayi baru lahir atau prematur. Dapat menimbulkan eksitasi pada anak kecil, overdosis dapat menimbulkan halusinasi, kejang atau kematian.
Ø  Penggunaan bagi Ibu Hamil dan Menyusui :
Keamanannya belum terbukti bagi ibu hamil. Dikontraindikasikan bagi ibu menyusui, karena meningkatkan resiko efek samping antihistamin pada bayi. Penderita sebaiknya tidak menyusui bila terpaksa memakai obat ini.




AMINOFILI  2.4.5
 Komposisi : Aminophylline/Aminofilin.  
Ø  Indikasi : Menghilangkan & mencegah gejala-gejala asma & bronkhospasme yang bersifat reversibel yang berhubungan dengan bronkhitis kronis & emfisema.
Ø  Kontra Indikasi : Tidak dianjurkan untuk anak berusia kurang dari 12 tahun.  
Ø  Perhatian : Pasien dengan penyakit jantung berat, hipoksemia (keadaan kadar oksigen darah yang menurun) parah, gagal jantung kongestif, penyakit hati, usia lanjut, hipertensi, atau hipertiroidisme.
Ø  Interaksi Obat : klirens Teofilin dikurangi oleh Eritromisin dan makrolida lainnya, dan Simetidin.
Ø   Efek  Samping : Gangguan saluran pencernaan, takhikardia, berdebar, & gemetar.  
2.4.6 NOVALGIN
Ø  Komposisi : Metamizole Na
Ø  Indikasi : Nyeri hebat yang berhubungan dengan sakit kepala, sakit gigi, post op, nyeri akut dan kronik karena spasme otot polos.
Ø  Dosis : Tablet = dewasa dan remaja >15 tahun 1tablet, maksimal 4x/hari ; Ampul = dewasa dan remaja >15 tahun 2-5 ml IM/IV dosis tunggal, maksimal 10 ml/hari
Ø  Pemberian Obat : Berikan sesudah makan
Ø  Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap metamizol, pirazolon. Porifiria hepatik atau defisiensi G6PD kongenital. Hamil dan laktasi
Ø  Perhatian : Asma bronkial atau infeksi saluran napas kronik, hipersensitif terhadap obat antirematik dan analgesik. Penderita yang memberikan reaksi seperti bersin, mata berair, wajah kemerahan jika minum minuman beralkohol. Gangguan hematologi. Tablet 500 mg: anak <15 tahun. Injeksi : penderita yang memiliki TD < 100 mmHg atau gangguan sirkulasi.
Ø  Efek Samping : Jarang, diskrasia darah dan syok. Agranulositis. Pembengkakan pada wajah, gatal, rasa tertekan pada dada, takikardi, rasa dingin pada ekstremitas.
Ø  Interaksi Obat : Dapat menurunkan kadar siklosporin dalam dalam plasma. Dapat meningkatakan efek dari alkohol.
Ø  Kemasan : Tablet 500 mg x 50 x 10 ; Ampul 500


2.4.7 VITAMIN A
Ø  Indikasi : Suplementasi vitamin A dosis tinggi (200.000 SI atau lebih rendah) yang dilakukan secara berkala kepada anak, dimaksudkan untuk menghimpun cadangan vitamin A dalam hati, agar tidak terjadi kekurangan vitamin A dan akibat buruk yang ditimbulkannya, seperti xeroptalmia, kebutaan dan kematian. Cadangan vitamin A dalam hati dapat digunakan sewaktu-waktu bila diperlukan. Pemberian kapsul vitamin A 200.000 SI kepada anak usia 1-5 tahun dapat memberi perlindungan selama 6 bulan, tergantung berapa banyak vitamin A dari makanan sehari-hari dikonsumsi oleh anak dan penggunaannya dalam tubuh.
Ø  Dosis : 200.000 SI
Ø  Over Dosis : Hipervitaminosis A: Suatu kondisi dimana vitamin A dalam darah atau jaringan tubuh begitu tinggi sehingga menyebabkan timbulnya gejala-gejala yang tidak diinginkan. Hipervitaminosis akut: disebabkan karena pemberian dosis tunggal vitamin A yang sangat besar, atau pemberian berulang dosis tunggal yang lebih kecil tetapi masih termasuk dosis besar karena dikonsumsi dalam periode 1-2 hari. Hipervitaminosis A akut: pada bayi dan anak biasanya terjadi dalam waktu 24 jam. Pada beberapa anak, mengkonsumsi dosis 300.000 IU atau lebih dapat menyebabkan mual, muntah dan sakit kepala. Penonjolan ubun-ubun dapat terjadi pada bayi umur >1 tahun yang mengkonsumsi dosis yang sangat besar, tetapi ini ringan dan akan hilang seketika dalam waktu 1-2 hari. Pengobatannya adalah menghentikan suplementasi vitamin A dan pengobatan asimptomatis. Hipervitaminosis kronis : disebabkan karena mengkonsumsi dosis tinggi yang berulang-ulang dalam waktu beberapaa bulan atau beberapa tahun. Keadaan ini biasanya hanya terjadi pada orang dewasa yang mengatur pengobatannya sendiri. Hipervitaminosis kronis : pada anak-anak usia muda dan bayi biasanya menyebabkan anoreksia (tidak nafsu makan), kulit kering, gatal dan kemerahan, peningkatan tekanan intrakranial, bibir pecah-pecah, tungkai dan lengan lemah dan membengkak. Pengobatannya adalah menghentikan suplementasi vitamin A dan pengobatan simptomatis, disamping itu hendaknya terhadap kemungkinan penyakit lain yang dapat merupakan penyebab.     
Ø  Komposisi : Dalam makanan, retinol adalah bentuk vitamin A
Ø  Penggunaan pada Wanita Hamil : Ada kemungkinan terjadi resiko pada janin, bila si ibu mengkonsumsi vitamin A dalam jumlah yang berlebihan, terutama pada trisemester pertama. Hasil percobaan binatang menunjukkan terjadi cacat bawaan, baik akibat hipovitaminosis maupun hipervitaminosis A selama kehamilan, tetapi pada manusia hasil tersebut secara statik tidak bermakna. Meskipun demikian, mengingat adanya data tentang akibat tersebut diatas, baik pada manusia maupun hewan, bagi wanita-wanita subur yang mungkin sedang hamil (misalnya bila telah lebih 6 bulan setelah kelahiran bayi terakhir), sebaiknya hanya mengkonsumsi vitamin A dengan kadar secukupnya saja. Vitamin A dosis tinggi tidak dianjurkan untuk diberikan pada wanita hamil. Untuk menjaga kesehatan dapat diberikan dosis kecil, yaitu yang tidak melebihi 10.000 per hari.
Ø  Golongan : Vitamin
2.4.8 KA-EN 3B
Ø  Komposisi : Per L Na 50 mEq, K 20 mEq, Cl 50 mEq, lactate 20 mEq, glocose 27 g
Ø  Indikasi : Menyalurkan atau memelihara keseimbangan air dan elektrolit pada keadaan dimana asupan makanan peroral tidak mencukupi atau tidak mungkin
Ø  Dosis : Dewasa dan anak ≥3 tahun atau BB ≥15 kg 500-1000 ml pada 1x pemberian secara IV drip
Ø  Kontra Indikasi : Hiperkalemi, oliguria, penyakit Addison, luka bakar berat dan azotemia. Kelebihan Na, sindrom malabsorpsi glukosa-galaktosa, cedera hati yang berat, aritmia jantung.
Ø  Perhatian : Gagal jantung kongestif, gagal ginjal, edema paru, dan jaringan perifer, pre-eklamsi, hipertensi, post-traumatik, sepsis berat, asidosis, obstruksi saluran kemih, DM
Ø  Efek Samping : Alkalosis; odema otak, paru, perifer; intoksikasi air dan hiperkalemi, tromboflebitis
Ø  Interaksi Obat : Ca
Ø  Kemasan : Larutan infus 500 ml
2.4.9   KA-EN 4B
Ø  Komposisi : Per L Na 30 mEq, K 8 mEq, Cl 28 mEq, lactate 10 mEq, glucose 37,5 g
Ø  Indikasi : Suplai cairan dan elektrolit untuk bayi dan anak <3 tahun atau BB <15 kg
Ø  Dosis : Dosis disesuaikan menurut kondisi, umur, dan BB
Ø  Kontra Indikasi : Na berlebih, penyakit hati berat, sindrom malabsorpsi, glukosa-galaktosa, aritmia jantung, hiperkalemia, oligiria, penyakit Addison, luka bakar berat dan azotemia
Ø  Perhatian : Gagal jantung kronik, edema perifer dan pulmoner, gangguan fungsi ginjal, pre-eklamsia, hipoproteinemia, stadium pasca traumatik dini, sepsis berat, asidosis, berkurang pengeluaran urine karena penyakit obstruksi saluran kemih, DM
Ø  Efek Samping : Edema serebral, pulmonal dan perifer; intoksikasi cairan terjadi pada infus yang berlebihan khususnya pada bayi baru lahir dan neonatus; tromboflebitis
Ø  Kemasan : Larutan 500 ml


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

0 komentar:

Posting Komentar